TERKESAN KERAMAHAN SUKU NUBIA (Seri 4)

TURUN dari kawasan Abu Simbel di perbatasan Sudan, kami sampai di Kota Aswan. Sebuah kota yang ramai, berjarak 280 km ke arah utara. Kami menempuhnya dengan naik mobil dalam waktu sekitar tiga jam, melewati bukit bebatuan dan padang pasir yang tandus di sepanjang pinggir Sungai Nil. Sepanjang 6 kilometer sebelum memasuki kota, kami mampir di Bendungan Aswan. Sebuah bendungan yang sangat besar, tempat sebagian besar rakyat Mesir menggantungkan kebutuhan hidup.
Bendungan raksasa yang dibangun dengan bebatuan 17 kali Piramida Giza itu menampung air dalam jumlah yang sangat besar. Air bendungan tersebut dimanfaatkan untuk pembangkit listrik serta pengembangan pertanian. Daya listrik yang dihasilkan dari 12 turbin mencapai 2.000 megawatt, menyumbangkan 10 persen kebutuhan listrik di Mesir. Lahan pertanian pun bertambah luas 30 persen setelah ada bendungan itu.
Yang menarik, kawasan tersebut juga tumbuh menjadi daerah wisata yang ramai. Penyebabnya bukan hanya keindahan Sungai Nil dan Bendungan Aswan, melainkan juga banyaknya situs bersejarah suku Nubia, suku berkulit hitam yang melahirkan masyarakat Mesir.
"Bahasa dan budaya kami menjadi cikal bakal para firaun dengan tulisan hieroglifnya," kata Ala'idin, seorang suku Nubia yang perahunya kami sewa untuk menyusuri Sungai Nil di kawasan Aswan. Ornamen-ornamen berbentuk piramida, obelisk, dan simbol-simbol lain dikenal di suku Nubia sejak zaman kerajaan Mesir kuno belum berjaya.
Ala'idin tinggal di sebuah pulau paling besar di antara sekian banyak pulau yang tersebar di tengah-tengah Sungai Nil. Namanya, Elephantine Island. Di pulau itu, hidup sekitar 3.000 kepala keluarga yang terbagi dalam dua desa, yaitu Koti dan Siou.
"Dulu, suku Nubia menempati kawasan yang cukup luas. Tapi, kawasan itu kemudian tenggelam dan menjadi Bendungan Aswan," papar lelaki ramah tersebut saat saya berkunjung ke rumahnya, awal Ramadan lalu.
Ada sekitar 40 desa yang tenggelam oleh air Danau Nasser sebagai dampak pembangunan Bendungan Aswan. Danau yang terbentuk itu memang sangat luas, berkisar 550 x 35 km. Hampir separo panjang Pulau Jawa. Kawasannya membentang dari perbatasan Sudan sampai Kota Aswan. Karena itu pula, Kuil Abu Simbel harus dipindahkan ke bukit yang lebih tinggi 65 meter dan dimundurkan 210 meter dari tempat semula di tepi Sungai Nil. Akibatnya, puluhan desa dan berbagai situs peninggalan budaya Nubia lainnya tidak bisa diselamatkan. Beberapa kuil yang bisa diselamatkan direlokasi ke tempat yang lebih tinggi atau dihadiahkan kepada negara-negara sahabat yang terlibat dalam proyek bendungan raksasa tersebut pada 1960-an. Salah satunya adalah kuil utuh yang dihadiahkan kepada AS, yaitu Kuil Dendur. Bangunan itu kemudian direkonstruksi dan dipajang di The Metropolitan Museum of Art, New York.
Sebagian besar suku Nubia dipindahkah ke kawasan Kom Ombo di utara Aswan. Sedangkan sisanya masih tinggal di pulau-pulau sekitar Elephantine Island yang tidak tenggelam. Termasuk, nenek moyang keluarga Ala'idin yang berasal dari Sudan. Lelaki berusia 39 tahun itu tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Dinding rumahnya terbuat dari tanah liat, sementara atapnya berasal dari dahan dan dedaunan pohon kurma. Pintunya melengkung dan pendek, khas rumah suku Afrika.
Lelaki yang tampak jauh lebih tua daripada umurnya itu tinggal bersama istri dan dua anak lelakinya yang masih balita. Nama mereka Hassan dan Hussein. "Saya mencintai keluarga Nabi Muhammad. Karena itu, anak-anak saya namai dengan nama cucu beliau, Hassan dan Hussein," tuturnya dalam bahasa Arab Amiyah.
Menurut Ala'idin, kebanyakan suku Nubia dulu beragama Kristen Koptik. Tapi, kini hampir seluruhnya beragama Islam. Sewa Perahu Dapat Hadiah Lagu
Taa rana
Ay gee awwe de nee
Joukree inggoun man noug denee
Zeena tounna kudrel
Tou denggo mee gaharga
Ak kash de nee...
Dia berjanji datang kepadaku.
Ketika aku yang datang kepadanya,
dia menjauh.
Dia yang cantik memesona
ternyata hanya mendatangkan masalah bagiku...
Lagu klasik suku Nubia itu didendangkan oleh Ala'idin sambil mengendalikan perahu layar. Dia sangat menikmati lagu tersebut sehingga kami ikut larut dalam iramanya yang mendayu-dayu dengan cengkok Afrika itu. Tanpa terasa, kami menepuk-nepukkan tangan secara berirama dan memukul-mukul kayu geladak perahu untuk mengiringinya. Benar-benar sore yang indah di tengah arus Sungai Nil yang mengalir pelan.
Suku Nubia memang terkenal ramah. Mereka hidup berkelompok secara damai dan tidak suka kekerasan. Solidaritas mereka sangat tinggi, sebagaimana religiusitas mereka. Mereka hampir tak pernah menolak ketika dimintai tolong. Mereka tulus, ikhlas, dan senang hati membantu sesama, bukan terpaksa. Tutur kata mereka halus dengan nada yang hampir tidak pernah meledak-ledak seperti kebanyakan orang Mesir perkotaan.
Akhirnya, kami sampai di Desa Koti. Kami mengunjungi rumah adat mereka serta salat berjamaah di masjid yang cukup luas dan bersih di desa itu. Warna-warni ornamennya khas Afrika dan berpadu dengan gaya Arab. Cara beragama mereka sangat moderat dan terbuka terhadap perbedaan. Baik suku, bangsa, maupun agama.
Saya menangkap substansi beragama yang islami di dalamnya, sebagaimana diajarkan dalam Alquran (surat 49:13). Yakni, seluruh umat manusia sebenarnya satu saudara, tetapi diciptakan dalam berbagai suku, bangsa, dan budaya agar saling kenal serta belajar satu sama lain. Orang yang terbaik adalah orang yang paling taat kepada Tuhan sambil memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan umat manusia!
(Sumber: Jawa Pos - Jelajah Sungai Nil, sebuah perjalanan spiritualitas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar