KEMEGAHAN FIRAUN DI LUXOR PUN RUNTUH (Seri 7)

SELAIN ke Luxor Temple, saya mengunjungi Karnak Temple. Inilah kuil terbesar di zaman Mesir kuno selama berabad-abad. Kuil Karnak bersama Kuil Luxor menjadi pusat peribadatan masyarakat Mesir di zaman Firaun. Ibaratnya, sama dengan Masjidilharam dan Masjid Nabawi bagi umat Islam. Di sinilah para penganut agama pagan mengadakan festival tahunan yang sangat meriah, yang disebut Festival Opet. Saya mencoba menelusuri kuil itu dengan kereta kuda atau di Mesir dikenal dengan sebutan Hantour.
Jarak antara Kuil Luxor dan Kuil Karnak sekitar 3 kilometer. Karnak di utara, sedangkan Luxor di selatan. Kedua tempat itu menjadi rute arak-arakan umat pagan sambil membawa patung dewa matahari, Amun Ra. Amun adalah dewa perang yang gagah perkasa, sedangkan Raadalah dewa matahari. Maka, dalam mitologi Mesir kuno, Amun Ra dipahami sebagai Raja Dewa Matahari atau rajanya para Tuhan -King of Gods.
Sang Amun Ra diusung di atas sebuah replika kapal bersama istrinya, Mut, dan anaknya,Khons. Mereka menjadi trinitas di agama Mesir kuno, yang kemudian diadaptasi oleh sejumlah agama sesudahnya. Keramaian festival tahunan itu diabadikan di dinding-dinding Kuil Luxor, selatan Karnak. Di antaranya, ada sejumlah artis yang terlihat melakukan akrobat dalam irama pukulan genderang.
Memasuki Kuil Karnak kita merasa kecil. Kompleksnya yang sangat luas, berukuran 1,5 kilometer kali 800 meter, bisa menampung hingga 80 ribu peziarah. Dari kejauhan sudah tampak pintu gerbangnya yang megah. Jauh lebih megah daripada Kuil Abu Simbel. Pilar-pilarnya yang besar berjumlah 134 buah menjulang ke angkasa.
Memasuki halaman depan kuil, kita disambut deretan patung domba berbadan singa. Bentuknya mirip patung spinx -singa berkepala manusia- di Piramida Giza. Cukup terasa kolosalnya. Kawasan ini disebut Thariqul Kibasy alias Jalan Domba.
Di ujung Jalan Domba kita sampai ke pintu gerbang utama. Pintu gerbangnya berupa gapura yang menjulang puluhan meter di kanan kiri jalan utama. Semacam gapura selamat datangnya Provinsi Jawa Timur atau Bali. Bedanya, gapura ini penuh dengan ornamen khas Mesir kuno dan huruf-huruf hieroglif yang bercerita sejarah masa lampau. Warnanya cokelat tanah, khas kawasan padang pasir.
Melewati gapura raksasa, kita lalu menyusuri lorong pilar-pilar raksasa. Ratusan pilar yang berdiameter lebih besar dari pelukan tiga orang dewasa itu menjadikan kita seperti berada dalam hutan tiang beton. Kita dibuat berdecak kagum sambil membayangkan betapa hebatnya para arsitek yang membangunnya.
Lorong hutan pilar itu kira-kira sejauh 100 meter dan berhenti di sebuah lapangan luas yang biasa dipakai untuk menggelar berbagai acara ibadah. Di sebelah kirinya terdapat kolam penyucian. Di sebelahnya lagi adalah ruang-ruang pendeta yang konon berjumlah ribuan orang dan tinggal di kuil itu juga.
Bangunan kuil raksasa ini memiliki ruang yang banyak dan luas. Menurut catatan sejarah, itu adalah perluasan yang dilakukan para Firaun sepanjang beberapa dinasti kekuasaannya, dalam rentang waktu 1.500 tahun. Yakni, mulai abad 20 SM hingga 5 SM. Kemegahan Kuil Karnak juga terlihat dari namanya. Dalam bahasa Mesir kuno Ipet-Isut berarti tempat paling sempurna.
Kuil yang menjadi pusat peribadatan agama pagan selama beberapa abad itu menjadikan Dewa Matahari sebagai Tuhan tertingginya. Tapi, mereka juga menyembah dewa-dewa yang lebih kecil kekuasaannya. Karena itu, Kota Luxor dikenal sebagai tempat bersemayamnyaAmun Ra, Dewa Matahari. Luxor yang berasal dari bahasa Arab al Aqshar yang berarti istana-istana raja itu memang identik dengan Amun Ra. Sedangkan nama asli Kota Luxor dalam bahasa Mesir kuno adalah Thebes.
Bila dibandingkan dengan Kuil Abu Simbel, Kuil Karnak jauh lebih megah dan lebih luas. Sebab, Kuil Abu Simbel memang dipersembahkan hanya untuk satu Firaun, yaitu Ramses II beserta istrinya. Sedangkan Kuil Karnak dan Luxor dipersembahkan kepada sekian banyak Firaun yang berkuasa beberapa abad di era New Kingdom. Setiap Firaun yang berkuasa selalu memberikan sentuhan untuk menambah dan mempercantik kuil, sehingga semakin lama tempat peribadatan itu semakin besar dan megah. Apalagi, kedua kuil itu berada di ibu kota kerajaan.
Sedemikian megah kuil dan Kerajaan Firaun, tapi toh tak tahan juga melawan waktu. Kuil yang mulai dibangun pada abad 20 SM itu akhirnya runtuh seiring dengan jatuhnya Kerajaan Mesir ke tangan orang-orang asing yang menjajahnya. Di antaranya bangsa Libya, kemudian suku Nubia, Parsi, dan bangsa Yunani yang dipimpin Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnaen. Di bawah pemerintahan orang Yunani inilah ibu kota Mesir, Luxor, dipindah ke Alexandria di tepi laut Mediterania sampai 1.000 tahun kemudian. Nama Kota Alexandria diambil dari namaAlexander the Great atau yang kita kenal juga sebagai Iskandariyah -diambil dari nama Iskandar Zulkarnaen.

***
Menyaksikan reruntuhan Kuil Karnak dan Luxor, saya seperti menonton film dokumenter tentang runtuhnya kekuasaan para Firaun yang berjaya berabad-abad. Sebuah simbol kekuasaan dan ambisi tanpa batas yang membuat mereka lupa, sehingga sampai mengangkat dirinya sebagai Tuhan bagi sesama. Mulai Memphis sebagai ibu kota Old Kingdom, kemudian pindah ke Luxor yang menjadi ibu kota New Kingdom, dan lantas pindah ke Alexandria di zaman Yunani dan Romawi.
Sejarah mencatat kisah mereka sebagai pelajaran besar bagi umat manusia. Sebuah mercusuar yang menjulang di antara mercusuar-mercusuar lain dalam sejarah peradaban.

Pemain sejarah yang menonjol selain Mesir adalah Kerajaan Parsi, Yunani, Romawi, dan Kekhalifahan Islam. Sang Pencipta membergilirkan kekuasaan itu kepada bangsa-bangsa yang berbeda untuk menggerakkan drama kehidupan manusia. Yang demikian ini diabadikan dalam ayat-ayat Alquran:
''Dan, kaum Firaun yang mempunyai pilar-pilar yang megah, yang berbuat sewenang-wenang di dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan di dalam negeri itu (QS. 89: 10-12). ... dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain (QS. 6: 6). Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang (hidup di zaman) kemudian (QS. 43: 56).''
Maka, nilai seorang manusia dan bangsa terletak kepada kemanfaatannya dalam membangun peradaban yang mulia. Yang memanusiakan manusia dan menghargai sesama dalam kebersamaan sebagai makhluk Tuhan yang Mahaadil dalam kekuasaan-Nya. Bukan pada kepongahan untuk merendahkan siapa saja dan mengangkat diri sedemikian tingginya. Tohakhirnya, terbukti runtuh juga! (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar