MASJID ABU AL HAGGAG DI ATAS KUIL FIRAUN (Seri 6)

MESKIPUN belum puas berada di Kota Aswan yang indah, kami harus segera turun gunung menuju Luxor. Luxor adalah Makkah-nya masyarakat Mesir kuno sekaligus pusat pemerintahan para Firaun pada zaman new kingdom. Kota itu berada sekitar 210 km dari Aswan ke arah utara. Kami menempuhnya dalam tiga jam perjalanan darat dengan menggunakan mobil, menyusuri tepi timur Sungai Nil, melewati Kota Kom Ombo, Edfu, dan Esna.

Memasuki Luxor, kami langsung menuju ke Luxor Temple, sebuah kuil yang menjadi salah satu pusat peribadatan masyarakat Mesir waktu itu. Bangunan yang megah tersebut sudah tidak utuh lagi. Tetapi, pilar-pilarnya yang kukuh masih berdiri tegak menyangga atap bangunan.

Yang aneh, di antara reruntuhan kuil itu berdiri sebuah masjid yang indah dan unik. Pilar-pilarnya menjadi satu dengan pilar kuil. Tetapi, masjid tersebut berdiri di bekas atap Kuil Luxor. Itulah Masjid Abu Al Haggag. Nama tersebut diambil dari nama seorang sufi abad pertengahan yang hidup pada zaman Bani Abbasiyah. Abu Al Haggag berasal dari Baghdad, Iraq, yang kemudian menetap di daerah bekas ibu kota Mesir kuno untuk menyebarkan ajaran Islam.

Masjid itu didirikan secara "tidak sengaja" di atap Kuil Luxor. Awalnya, kuil tersebut terpendam setelah runtuh ribuan tahun silam. Semakin lama, bangunan kuil itu makin dalam terpendam sampai akhirnya tinggal ujung-ujung tiangnya yang mencuat di permukaan.

Abu Al Haggag lantas memanfaatkan tiang-tiang itu untuk membangun masjid, tanpa membongkar sisa-sisa kuil. Bahkan, ornamen-ornamen yang melukiskan para dewa pagan pada zaman Mesir kuno masih utuh. Termasuk, huruf-huruf hieroglif yang merekam sejarah masa lampau dan gambar para firaun yang dipahat di dinding-dinding kuil, tepatnya di ruang peribadatan.

Ketika pemerintah Mesir menggali lagi situs bersejarah itu pada 1885 M, baru diketahui Masjid Abu Al Haggag sebenarnya berdiri di atas reruntuhan kuil firaun. Namun, pemerintah Mesir memutuskan untuk membiarkan saja bangunan masjid di atas kuil tersebut. Sebab, itu justru menjadi daya tarik yang sangat unik bagi para peziarah. Bahkan, kemudian pemerintah memperbaiki masjid tersebut sehingga menjadi lebih bagus.

Sekarang, kalau melihat ke luar dari dalam masjid, tepatnya memandang ke arah belakang lewat jendela, kita menjadi tahu bahwa di bawah masjid itu terdapat kuil besar peninggalan firaun. Di sana tampak pilar-pilar kukuh yang menyangga ruang-ruang peribadatan yang luas. Masjid tersebut berada belasan meter di atas lantai dasar kuil. Tetapi, karena pintu masuknya dari arah yang berbeda, pintu utama masjid bisa diakses dari halaman depan lewat anak tangga.

Yang menarik, Syekh Abu Al Haggag tidak memusnahkan sisa-sisa kuil itu dan malah memanfaatkannya. Selain membiarkan pilar-pilar kuil menyangga bagunan masjid, sang sufi membuat ruang salat imam dengan cara mencekungi pilar. Jadi, tempat imam berada di cekungan pilar raksasa. Di sisinya, sang sufi menempatkan mimbar utama untuk tempat berkhotbah.

Di atas mimbar, kita bisa menyaksikan guratan-guratan huruf hieroglif beserta gambar para firaun dengan dewa-dewa pagan. Rasanya jadi aneh dan asing. Sebab, biasanya di dalam masjid tidak boleh ada gambar, patung, apalagi patung dewa-dewa. Namun, di Masjid Abu Al Haggag, semua itu malah terpampang di atas tempat imam memimpin salat. Luar biasa!

Bagian tersebut sampai sekarang masih dipertahankan, bahkan dibingkai dengan kaca dan diberi lampu. Umat Islam setempat tidak mempermasalahkan benda-benda peninggalan kuil tersebut. Mereka, para penganut tasawuf itu, tahu persis bahwa mereka tidak menyembah para dewa. Salat mereka bertujuan mengagungkan Tuhan, Allah SWT.

***

Melihat Masjid Abu Al Haggag yang unik, saya teringat akan pertanyaan seorang jamaah tentang alasan umat Islam harus menghadap Kakbah kala salat. Seakan-akan umat Islam menyembah bangunan batu berbentuk kubus hitam itu. Apalagi, ada yang lantas menganggap Allah berada dalam Kakbah karena umat Islam menyebut Kakbah dengan Baitullah -rumah Allah. Tentu saja pertanyaan seperti itu menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengerti konsep ketuhanan dalam Islam.

Bukan hanya orang-orang di luar Islam, yang sudah beragama Islam puluhan tahun pun kadang-kadang belum paham tentang hal tersebut. Sehingga, ketika beribadah haji, sebagian di antara mereka merasa lebih dekat dengan Allah karena berada di dekat Kakbah. Karena itu, seorang kawan saya bertanya, "Lho, kalau berada di Indonesia, apakah kita kalah dekat terhadap Allah jika dibandingkan dengan orang-orang Arab yang tinggal di sekitar Makkah?"

Tentu saja pemahaman seperti itu menjadi lucu. Sebab, sesungguhnya itu hanyalah distorsi pemahaman mereka yang tidak mengerti akan konsep tauhid ajaran Alquran. Mereka terbawa tradisi dan ajaran yang simpang siur dari mulut ke mulut saja. Alquran dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak menempati ruang alam semesta, melainkan justru alam semesta inilah yang berada dalam zat-Nya Yang Mahabesar.

Bukan Tuhan yang berada dalam surga, melainkan surga yang berada dalam Tuhan. Bukan Tuhan yang berada dalam alam akhirat, melainkan akhirat yang berada dalam kebesaran-Nya. Apalagi, Kakbah. Bukan Allah yang berada dalam Kakbah, melainkan Kakbah yang berada dalam Allah.

Karena itu, kata Allah dalam Alquran, seluruh langit dan bumi ini adalah milik-Nya semata dan Dia meliputi seluruh alam semesta. Dia berada di mana saja bersama kita. Penyebabnya bukan Dia berjumlah banyak, melainkan Dia Mahabesar, meliputi segala yang ada. "Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan bumi serta Allah Maha Meliputi segala sesuatu (QS.4: 126)."

Jadi, tidak heran Abu Al Haggag dengan mantap meyakini bahwa gambar-gambar dewa dan ornamen Mesir kuno di atas mihrab itu tidak bisa sedikit pun memengaruhi kekhusyukan salatnya. Sebab, sesungguhnya Allah bersama siapa saja yang menghunjamkan perasaan ihsan dalam ibadahnya, yaitu merasakan kebersamaan dengan Sang Pencipta dalam seluruh kesadarannya..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar