Top Gear Menuju Finish

Muqoddimah

Mari kita biasakan untuk memulai sesuatu dengan bacaan Bismillahirrahmaanirrahiim.

Tidak terasa Ramadhan tahun ini akan segera meninggalkan kita. Seakan-akan baru kemarin kita berpuasa, eh, ternyata kita sudah memasuki bukan lagi memasuki tetapi sudah menjalani fase ke tiga dibulan Ramadhan yaitu sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kalau kita ibaratkan Ramadhan adalah track (putaran) balap, baik itu balapan mobil atau balapan sepeda motor, puasa adalah kendaraannya sedangkan kita, manusia adalah rider (pembalap)nya dan garis finishnya adalah menjadi hamba Allah yang bertaqwa, maka posisi kita sekarang adalah ada diputaran terakhir. Untuk bisa meraih garis finish yang berupa menjadi hamba Allah yang bertaqwa kita harus memaksimalkan kendaraan (baca puasa) kita dengan kecepatan penuh, diantaranya kita gunakan top gear yaitu berupa I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Menjadi hamba Allah yang muttaqin adalah sebuah prestasi yang harus kita ukir dihadapan Allah swt. Prestasi yang akan menghantarkan kita pada kehidupan yang sebenarnya dan yang abadi, dan sebagai seorang manusia itu menjadi PR besar yang harus segera diselesaikan.

Refleksi Akhir Ramadhan

Berbicara tentang manusia telah dimaklumi bahwa, manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia dinegara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua. Seperti info yang disampaikan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Nampak dalam ayat diatas bahwa kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama, tidak ada perbedaan. Adapun yang membedakan di antara mereka adalah dalam urusan diin (agama), yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya. Seorang mufasirin yang cukup tersohor yaitu Al-Hafidzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”. Sebagaimana pesan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hadits beliau, “Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”

Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikembangkan. Dampak dari kemajuan dan perkembangan itu muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk di dalamnya teknologi yang mereka (baca: manusia) temukan. Namun, kalau kita renungkan agak mendalam semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.

Tak pelak dari efek lain dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyuruh (baca: memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.

Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggung-jawabannya (lihat surat Yassin ayat 65).

Tetapi sekali lagi, karena tipisnya ikatan manusia dengan syariat Allah, manusia banyak yang tidak menghiraukan halal atau haram, karena memang manusia “tidak punyak hak” untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, kecuali dikembalikan kepada syariat agama Allah. Karena minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak manusia terjerembab ke lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan tidak menutup kemungkinan, para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah bangga dengan “amal dosa” itu, na’udzubillah. Coba kita renungkan statement dari seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:

“Aku lihat perbuatan dosa itu mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan. Sedang meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi diri(mu) bila meninggalkannya”.

Lantas, sebagai seorang manusia yang telah dipercaya Allah untuk bertemu dengan Ramadhan pada tahun ini yang sebentar lagi akan meninggalkan kita prestasi manakah yang akan kita ukir? Prestasi barrun (baik), taqiyyun (tawqa) dan karimun (mulia). Ataukah sebaliknya kita ingin mengukir prestasi fajirun (ahli maksiat), syaqiyun (celaka), Dzalilun (hina). Melihat realita yang semacam itu membuat Imam Al-Hasan Al-Bashri berwasiat kepada kita semua, “Wahai manusia, ketahuilah bahwasanya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari yang berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”

 Penutup

 Mengakhiri tulisan ini mari kita renungkan:

  1. Sudah berapa umur kita yang berlalu begitu saja?
  2. Sudah berapa amal taat yang telah kita kumpulkan sebagai investasi di sisi Allah?
  3. Sudah berapa pula, amal maksiat yang telah kita lakukan yang menyebabkan kita (nantinya) terseret kedalam Neraka?
  4. Sudah berapa Ramadhan yang telah kita lalui dan hilang tanpa meninggalkan atsar (bekas) kebaikan bagi kita?

Marilah, di penghujung Ramadhan ini kita melakukan muhasabah (intropeksi), muraqabah (retropeksi) dan muwajahah (proyeksi) terhadap kehidupan kita selama ini. Segera kita bertobat untuk ‘mengukir” dengan amal taat terhadap Allah dan Rasulnya. Umat Islam (termasuk saya dan pembaca sekalian) telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.

Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:

  1. Zhalimun linafsihi: Orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah haramkan (yang dilarang)
  2. Muqtashid: Orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
  3. Sabiqun bil khairat: Orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)

Tak seorang pun di antara kita yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan syari’at Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya. Na’udzu billah. Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW. “(Jalan) menuju Jannah itu penuh dengan sesuatu yang tidak disukai manusia, dan (jalan) Neraka itu dilingkupi sesuatu yang disukai oleh syahwat”.

Wallahu‘alamu bi showwab

(tulisan ini sudah pernah di muat di Malang Post Kolom Religi pada Agustus 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar