MULTIPLE INTELLEGENCES,Revolusi Pembelajaran PAI

BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara tentang pendidikan, kerap kali pikiran orang hanya terpusat pada dimensi akademis yang menjadi tolak ukur dalam kemajuan intelektualitas anak didik. Padahal terdapat multi aspek yang terkait di dalamnya, mulai dari pekembangan psikologi anak hingga pembentukan karakter, pribadi yang kualitas.
Dalam rumusan UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Anak didik dan proses pembelajaran merupakan dua dimensi berbeda yang perlu disinkronisasikan secara holistik dan terpadu. Penyelarasan antara aspek pembelajaran dengan perkembangan anak didik akan membangkitkan motivasi dan gairah belajarnya. Menurut teori Multiple Intelligence, bahwa setiap anak memiliki aneka ragam kecerdasan, yaitu meliputi; bahasa, logika, musikal, visual atau spasial, kinestetik, intrapersonal dan interpersonal.
Selama ini, yang dianggap sebagai kecerdasan adalah melulu kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika (matematika), sedangkan yang lain dianggap tidak, atau sekurang-kurangnya “tidak berhubungan langsung”, dengan masalah kecerdasan. Menurut pakar psikologi, Howard Gardner, proses pembelajaran atau lebih dikenal dengan sebutan kata “mendidik” erat kaitannya dengan pelibatan semua elemen saraf dan potensi yang ada di alam jiwa anak itu.
Proses pembelajaran bukanlah sekadar masalah cara belajar, melainkan menyangkut cara terbaik bagi seseorang untuk menerima dan memahami informasi. Pada umumnya, orang belajar dengan membaca, tapi orang-orang
Tertentu dapat memahami lebih baik dengan cara mendengar atau mengamati. Ada juga yang senang berdiskusi dengan orang lain, tapi ada yang lebih cepat mengerti dengan cara melihat gambar atau bagan.
Dengan cara seperti itu berarti tidak ada anak yang tidak berbakat, semua pasti punya bakat, meski masing-masing anak bisa berbeda bakatnya. Bertolak dari realitas tersebut, kini metode pembelajaran diarahkan untuk pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Hakikat dari tujuan pembelajaran adalah untuk menumbuhkan semangat belajar anak didik agar berkembang potensinya secara utuh. Melalui pembelajaran berbasis “Multiple Intelligence” ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kesenjangan “kecerdasan” pada pribadi anak didik.
Pendekatan “Multiple Intelligence” dapat diterapkan ke dalam setiap jenis mata pelajaran, baik bidang studi eksak (ilmu-ilmu pasti) maupun sosial, termasuk ilmu agama. Apalagi dengan berkembangnya sains modern dan kemajuan bioteknologi seperti saat ini, menuntut semua pendidik mampu mensinergikan nilai-nilai ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap ragam keilmuan yang ada. Sebab dari perspektif filosofis, tidak ada suatu keilmuan yang berdiri sendiri tanpa memiliki hubungan yang sinergis dengan ilmu lain.
Seiring dengan kemajuan zaman dan daya kompetisi global yang semakin ketat, justru anehnya wajah pendidikan kita semakin buram. Kenyataan pahit yang dirasakan oleh sebagian praktisi pendidikan (pendidik) yaitu “kegagalan” mereka menembus area sertifikasi. Secara persentatif, jumlah guru yang benar-benar lulus resmi uji portofolio tidak lebih dari separo. Realita tersebut berarti dapat menggambarkan betapa parahnya kebobrokan proses pembelajaran yang terjadi sepanjang dekade ini.
Tolak ukur keberhasilan dalam proses pembelajaran selama ini sering dikaitkan dengan paham “kepatuhan” anak didik terhadap guru dan “penguasaan” materi pelajaran. Bahkan kalau kita bisa ikuti apa kata guru berarti itulah anak berbakat, dan siapa yang hafal materi diluar kepala itulah anak yang pintar. Model pembelajaran semacam ini adalah cara behavioristrik, yang melihat bahwa proses pembelajaran itu diukur seperti tingkah laku, jadi harus dilakukan berulang-ulang sampai anak didik seperti mesin “foto copy” yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan bentuk aslinya.
Kini, proses pembelajaran cenderung memakai paradigma kontruktivis, bahwa seseorang bisa membangun pengetahuannya sendiri dan bukan dibentuk oleh orang lain. Meskipun pengaruh bimbingan dan arahan dari pihak pendidik tetap sangat diperlukan, tetapi bukan harus kepatuhan yang jadi nilai ukurnya.
Pembelajaran menurut paradigma konstruktivis, bahwa anak didik itu dikatakan berbakat adalah anak didik yang kreatif dan produktif. Hasil pembelajaran (out came) yang dikehendaki paham konstruktivis yaitu menjadikan anak didik sebagai penemu, desainer yang kreatif dalam bidang science, art dan teknologi, menjadi pemimpin yang inovatif, punya jiwa entrepreneur yang kuat, dan menjadi pribadi yang shaleh terhadap sesama manusia, alam dan Tuhan.
Cara pandang konstruktivis inilah yang kemudian membuka wacana baru tentang cara belajar yang demokratis di mana antara anak didik dan guru bisa saling terjadi proses belajar dan mengajar. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak didik bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadahi, diberi peneguhan dan motivasi. Jadi tugas guru adalah memacu kreativitas anak didik agar “Multiple Intelligence” yang mereka miliki bisa tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi tersebut maka dalam makalah ini akan dibahas seputar pembalajaran berbasis “multiple intelligence” terutama bila metode ini kita terapkan dalam pembalajaran PAI (pendidikan agama Islam).
II. RUMUSAN MASALAH
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka, pemakalah memberikan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran “multiple intelligence” ?
2. Bagaimana penerapan pembelajaran “multiple intelligence” dalam pembelajaran pendidikan agama Islam ?
















BAB II
PEMBAHASAN

I. Pembelajaran “Multiple Intellegence”
Sekolah selain berperan sebagai lembaga yang merangsang siswa untuk mengembangkan dirinya juga sebagai lembaga yang memberikan transfer ilmu pengetahuan. Guru berperan membantu siswa agar berkembang dengan memperhatikan, melindungi menerimanya ,menjaga agar tetap dalam semangat mencapai cita-citanya.
Fenomena yang sering kita rasakan dan dengarkan dari para guru ketika dihadapkan pada siswa di kelas akan memberikan identifikasi kepada siswanya sebagai siswa yang paling pandai disatu sisi dan siswa yang paling bodoh di sisi lain. Tragisnya siswa yang dikategorikan bodoh akan mendapat caci maki bahkan sanksi yang cukup berat, yang secara psikologis akan menghilangkan rasa percaya diri. Suasana kelas yang membosankan menjenuhkan dan monoton bahkan redup, karena keterbatasan guru baik dalam menciptakan inovasi pembelajaran dan multi media juga karena memahami kemampuan siswa yang hanya bertumpu pada satu atau dua jenis kecerdasan dalam mengajar seperti cerdas berbahasa (word smart) dan cerdas berlogika (number smart)( Hernowo , xi :2004). Hal ini selalu nampak dalam proses belajar mengajar sehingga ujung-ujungnya menurunnya motivasi berprestasi siswa sampai pada out put yang anjlok. Jika hal ini terjadi ini salah siapa.
Fenomena-fenomena tersebut di atas akan terus muncul ketika guru tidak memahami potensi dasar yang dimiliki oleh siswa. Paradigma baru melalui Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) oleh pakar Thomas Armstrong akan menjawab semuanya. Dalam teori ini jika guru-guru menguasai KM tidak mungkin akan kehabisan ide dan akan terus bersemangat untuk menciptakan hal-hal baru di kelasnya. Jika ingin menciptakan para juara diberbagai kompetisi, kenapa kita tidak memulainya mengikuti jejak sekolah-sekolah lain yang sudah lebih dulu menjadi gudang-gudang juara dengan menerapkan teori kecerdasan majemuk. Tulisan ini menawarkan salah satu strategi mengajar untuk menciptakan iklim mengajar yang atraktif, kreatif, inovatif dan kondusif.

Kecerdasan Majemuk
Sebelum mengenal lebih dekat tentang Kecerdasan Majemuk, maka alangkah baiknya kita kutip dongeng dalam buku In Their Oum Way : Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences, karya Thomas Armstrong sebagai berikut : Terdengarlah kabar di dunia binatang, bahwa para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Dibuatlah kurikulum yang berisi mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang dan menggali. Sekolah pun dibuka dan menerima murid dari pelbagai pelosok hutan. Pada awalnya sekolah berjalan lancar, guru dan murid dapat menikmati segala aktifitas dan keceriaan.
Singkat cerita tibalah saatnya ulangan harian, murid bernama kelinci yang piawai berlari ketika ikut kelas berenang, kelinci hampir tenggelam sampai mengguncang hatinya. Maka kelinci sibuk latihan berenang hingga kelinci tidak pernah lagi bisa berlari secepat sebelumnya. Kemudian murid bernama elang yang piawai terbang giliran mengikuti kelas menggali, si elang tidak bisa melakukannya, akhirnya ia ikut privat, sehingga ia melupakan cara terbang yang sebelumnya ia kuasainya. Berbagai kasus melanda para siswa, Para binatang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi di bidangnya masing-masing lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka. Pengelola sekolah menjadi pusing .
Dari cerita dongeng tersebut di atas, bila dikaitkan dengan sistem kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah sepertinya kurang memberikan ruang gerak bagi siswa untuk mengembangkan potensi dasar yang mereka miliki. Disatu sisi tempat untuk mengembangkan potensi dasar siswa terbatas pada apa yang sudah ada dan disiapkan sekolah. Disisi lain pihak pemerintah dan pengelola pendidikan kurang menyiapkan berbagai tagihan yang diperlukan siswa melalui kecerdasan majemuk.
Kecerdasan majemuk menurut Gardner (dalam Thomas Armstrong, 2 : 2004) membagi kecerdasan majemuk menjadi delapan macam yaitu :
1) Kecerdasan linguistik : kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif baik lisan (pendongeng, orator, politisi) maupun tertulis ( sastrawan, editor, wartawan),
2) Kecerdasan matematis logis : kemampuan menggunakan angka dengan baik (ahli matematika, akuntan pajak ahli statistik),
3) Kecerdasan Spasial : kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat ( sebagai pemburu, pramuka, pemandu),
4) Kecerdasan Kinestetis-Jasmani : kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan ( sebagai aktor, atlet atau penari),
5) Kecerdasan musikal : kemampuan menangani bentuk-bentuk musik, dengan cara mempersepsi ( sebagai penikmat musik, kritikus),
6) Kecerdasan Interpersonal : kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi serta perasaan orang lain (kepekaan pada ekspresi wajah, suara gerak isyarat),
7) Kecerdasan Intrapersonal : kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut (kemampuan memahami diri sendiri secara akurat),
8) Kecerdasan Naturalis : keahlian mengenali dan mengategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar, (kepekaan pada fenomena alam).
Dari delapan macam kecerdasan majemuk tersebut di atas maka poin-poin kunci dalam kecerdasan majemuk adalah :
1) Setiap orang memiliki ke delapan kecerdasan artinya teori ini adalah teori fungsi kognitif yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas dalam kedelapan kecerdasan tersebut.
2) Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai. Menurut (Gardner, 17 : 2004) setiap orang memiliki kemampuan mengembangkan kedelapan kecerdasan sampai pada kinerja tingkat tinggi yang memadai apabila cukup dukungan, pengayaan dan pengajaran.
3) Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks. Menurut Gardner bahwa kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain. Contoh : untuk memasak makanan orang akan membaca resep (linguistik), mungkin akan membagi menjai setengah resep (matematika logis), dan bisa memuaskan semua pihak (intrapersonal) bahkan dirinya sendiri (interpersonal).
4) Ada banyak cara untuk cerdas dalam setiap kategori sebagai contoh misalnya mungkin saja orang tidak dapat membaca dengan baik, tetapi memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi karena dapat menyampaikan isi pidato sampai memukau orang lain.

II. Penerapan Pembelajaran “Multiple Intellegence” dalam PAI
Untuk dapat menerapkan model pembelajaran di sekolah sebaiknya menerapkannya pada diri kita sendiri sebagai pendidik agar memiliki pemahaman empiris tentang teori tersebut., baru kepada anak didik. Untuk menilai kecerdasan majemuk pada diri kita sendiri adalah melalui penilaian kinerja secara realistis pada berbagai macam tugas, kegiatan dan pengalaman yang berkaitan dengan setiap kecerdasan. Untuk dapat menghubungkan kita dengan pengalaman hidup yang memanfaatkan kedelapan kecerdasan, sehingga kenangan, perasaan dan gagasan apakah yang muncul dari proses ini bisa dibantu dengan lembar kuesioner KM.
Teori kecerdasan majemuk adalah model yang sangat tepat untuk melihat kekuatan mengajar maupun untuk mempelajari wilayah-wilayah yang perlu diperbaiki. Mungkin kita akan menghindar jika dalam mengajar harus menggambar di papan tulis atau enggan menggunakan bahan-bahan grafis saat presentasi karena kecerdasan spasial kita belum cukup dikembangkan dalam hidup. Atau mungkin kita cenderung pada strategi belajar kelompok atau kegiatan ekologis karena kita termasuk pendidik yang interpersonal atau naturalis.
Cara-cara penggunaan sumber-sumber kecerdasan antara lain :
1) Meminta bantuan teman yang ahli, maksudnya jika kita kehabisan akal untuk mengajar di kelas menggunakan alat musik, karena kecerdasan musikal kita rendah bisa minta bantuan pada guru musik atau kolega berbakat musik, 2) Meminta bantuan siswa, maksudnya siswa sering memberikan solusi dan menunjukkan kemahiran di wilayah tertentu yang kurang dikuasai pendidik, seperti mengakses data di internet,
3) Menggunakan teknologi yang ada maksudnya adalah gunakan daya teknis sekolah untuk menyediakan informasi yang tidak dapat kita kuasai, contohnya jika kita bukan pengajar yang berorientasi pada gambar bisa memutar video.
Sejumlah pengaruh lingkungan juga berpengaruh mendorong atau menghambat perkembangan kecerdasan antara lain :
1) Akses ke sumber daya : maksudnya apabila keluarga tidak mampu membelikan siswa piano, piano atau alat musik lain maka kecerdasan musik tidak akan berkembang,
2) Faktor historis kultural maksudnya apabila siswa memiliki kecenderungan pada matematika banyak mendapat subsidi maka kemungkinan kecerdasan matematika logis akan berkembang,
3) Faktor geografis maksudnya apabila siswa dibesarkan di lingkungan pertanian akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan naturalis atau kinestetis jasmani dibandingkan siswa yang tinggal di apartemen atau kota-kota besar,
4) Faktor keluarga maksudnya bila siswa kecenderungan ingin menjadi seniman, terus dipaksakan oleh orang tua menjadi ahli hukum maka akan mendorong perkembangan kecerdasan linguistik tetapi menghambat kemajuan kecerdasan spasia.
Kemudian bila kita coba tarik pada alam “kita” yaitu dunia pendidikan Islam bagaimana bentuk penerapan multiple intelligence dalam pendidikan agama Islam.
Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan kata-kata dapat mempelajari PAI dengan pantun, puisi dan lain-lain. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam bidang musik (Musical Intelligence) juga dapat mempelajari PAI dengan mengarang lagu-lagu untuk mengingat fakta-fakta dalam PAI. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan gambar (Visual-Spatial Intelligence) dapat mempelajari PAI dengan membuat komik/cerita bergambar, lukisan dan lain-lain. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam memahami tubuh (Bodily-Kinesthetic Intelligence) dapat mempelajari PAI melalui drama dan tari-tarian.
Multiple Intelligence pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emotional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Celakanya, pola pemikiran tradisional dalam pendidikan acapkali lebih menekankan pada kemampuan logika-matematika dan bahasa. Padahal, setiap orang memiliki cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. (Handy Susanto,2005).



BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang terwujud dalam meningkatkannya kecerdasan siswa, tidak hanya terfokus pada smart word atau smart number, tetapi ada kecerdasan-kecerdasan lain yang tersimpan dalam diri setiap anak. Bila kecerdasan-kecerdasan ini bisa di eksploitasi dengan baik maka anak didik kita akan bisa memiliki kecerdasan yang majemuk. Inilah yang disebut dengan kecerdasan majemuk atau multiple intelligence. Ada 8 kecerdasan majemuk itu :
1. Kecerdasan dalam menggunakan kata-kata (Linguistic Intelligence)
2. Kecerdasan dalam bermusik (Musical Intelligence)
3. Kecerdasan dalam menggunakan logika (Logical-Mathematical Intelligence)
4. Kecerdasan dalam menggunakan gambar (Visual-Spatial Intelligence)
5. Kecerdasan dalam memahami tubuh (Bodily-Kinesthetic Intelligence)
6. Kecerdasan dalam memahami sesama (Interpersonal Intelligence)
7. Kecerdasan dalam memahami diri sendiri (Intrapersonal Intelligence)
8. Kecerdasan dalam memahami alam (Naturalist Intelligence)
2. Kecerdasan majemuk ini memiliki kontribusi yang luar biasa bila kita terapkan dalam pembelajaran PAI. Diantaranya kita bisa meminta anak-anak menceritakan kisah nabi Yusuf tetapi disampaikan dengan bentuk drama, dan lain sebagainya. Intinya kita bisa banyak berkreasi dalam menyampaikan pelajaran PAI. Penerapan teori Multiple Intelligences dalam proses pembelajaran PAI membuat siswa tidak hanya duduk “manis” mendengarkan ceramah dari guru. Siswa diberi keleluasaan untuk mencari tempat dimana mereka akan belajar. Jadi proses belajar mengajar tidak selalu dilakukan di dalam kelas tetapi bisa di lapangan, ruang laboratorium atau perpustakaan. Adakalanya ketika siswa berada dilapangan untuk mempraktekkan sesuatu,hal tersebut ikut memancing keingintahuan siswa yang sedang belajar di kelas lain sehingga guru-guru yang lain (mungkin) merasa terganggu.



BIBLIOGRAFI

Amstrong, T. (2004). Kamu itu lebih cerdas daripada yang kamu duga (You’re smarter than you think), Batam Centre: Interaksara
Dahar, Ratna Wilis, Prof. Dr. M.Sc,. (1996).Teori-teori belajar, Jakarta: Erlangga
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer. (2000). Quantum teaching.
Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan Majemuk). Batam:
Interaksara.
Gunawan, Adi W., (2004), Genius Learning Strategy, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prawiradilaga , Salma, D., Siregar, Eveline, (2004), Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana,
Susanto, Handy, S.Psi, (2005), Penerapan multiple intelligences dalam system pembelajaran, Jakarta, Jurnal Pendidikan Penabur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar