Akhirnya, kami benar-benar meninggalkan Kota Luxor yang bertaburan situs penting dalam sejarah Mesir kuno. Kami berangkat pagi untuk menuju Kota Asyut yang berjarak sekitar 300 km dengan mengendarai mobil.
Menyusuri jalan sebelah timur Sungai Nil lebih baik jika dibandingkan dengan sebelah barat. Jalanan tepi barat adalah kawasan yang dikenal dengan nama zira'i alias jalanan pedesaan dan area pertanian. Sedangkan kawasan timur dikenal sebagai sakhrawi alias jalanan padang pasir. Lewat zira'i, perjalanan tidak akan lancar karena sering bertemu dengan perkampungan, pasar, dan iring-iringan kambing atau sapi. Sedangkan lewat sakhrawi jauh lebih lancar. Bahkan, rasanya seperti lewat tol meskipun harus melalui kawasan padang pasir nan tandus.
Sekitar empat jam perjalanan, sampailah kami di Kota Asyut. Sebuah kota yang bersih dan tenteram. Aliran Sungai Nil yang tenang menambah ketenteraman kota kecil itu. Tidak banyak situs Mesir kuno di kawasan tersebut. Tetapi, ada situs yang sangat menarik dari zaman Masehi. Yakni, tempat singgah Nabi Isa dan ibunya, Siti Maryam.
Sebelum pergi ke penginapan, saya memutuskan langsung berkunjung ke perbukitan Jabbal Asyut, tempat nabi Bani Israil itu singgah bersama ibunya. Daerahnya agak masuk dari jalan utama, sekitar 10 km. Kemudian, berbelok, naik ke perbukitan. Dari kejauhan, lokasi situs sudah kelihatan. Situs tersebut berupa sebuah gua besar yang kini sudah berubah menjadi sekelompok bangunan gereja: Deir Durunka. Di situlah terdapat salah satu pusat pengaderan biarawan Kristen Koptik untuk mengembangkan agamanya.
Untung, kami datang pada Agustus, saat perayaan datangnya Isa dan Maryam ke tempat tersebut dihelat. Jadi, jamaah yang berziarah sedang ramai-ramainya. Menurut panitia perayaan, jumlah jamaah yang datang bisa mencapai 1 juta orang dalam waktu 15 hari. Yaitu, mulai 7-22 Agustus.
Memasuki halaman Biara Durunka, saya mendengar suara puji-pujian dalam bahasa Arab, mirip orang Islam kala mengaji, yang disiarkan lewat pengeras suara. Ingin tahu isinya, saya membeli buku pujian itu. Bunyinya, antara lain:
Ummuna yaa 'adrak, yaa ummal masih.
Yalli fiiki daaiman biyikhlu almadiih.
Quluubna bitikhibbik khubb
ma lausy matsil.
A'idzin nufadhdhol janbik wa
naquulu taraatil.
(Ibunda kami sang perawan suci, wahai ibunda Almasih.
Yang ada pada dirimu selamanya pantas mendapatkan puji-puji.
Kami mencintaimu dengan sepenuh hati, cinta yang tak tertandingi.
Kami ingin selalu berada di sampingmu dan menghaturkan puji-puji.)
Memasuki kawasan gua suci, kami didampingi seorang biarawan bernama Abram. Dia menemani kami melihat-lihat sampai dalam gua yang ternyata cukup besar, seluas ratusan meter persegi. Di tempat itulah dulu perawan suci Maryam dan putranya, Nabi Isa, bersembuyi dari kejaran Raja Herodes yang hendak membunuh mereka.
Gua di Jabbal Asyut itu menjadi persinggahan terakhir ibu dan anak tersebut dalam menempuh perjalanan sekitar 1.000 km. Mereka berkelana sekitar tiga tahun, dimulai dari Palestina, menyeberang ke Mesir lewat Gaza dan Rafah, kemudian menyusur ke arah hulu Sungai Nil, tepatnya ke selatan. Waktu itu Nabi Isa masih berumur beberapa bulan. Dengan naik keledai dan didampingi Yusuf, paman Maryam, mereka singgah di berbagai kota di sepanjang Sungai Nil. Di antaranya, Tal Basta, Sakha, Wadi El Natrun, Bahnassa, Smalot, Dairut, Jabbal Kuskam, dan terakhir Jabbal Asyut.
Bersama biarawan Abram, saya melihat-lihat isi gua yang kini menjadi tempat peribadatan umat Kristen Koptik itu. Saya mengamati dua ruang yang pernah menjadi tempat tidur Maryam dan Isa. Yaitu, pojok kanan dan kiri bagian paling dalam gua. Di sana, banyak jamaah yang berkerumun untuk berdoa dan memohon berkah. Mereka berdoa sambil menghadap ke dalam ruang yang diberi pintu terali, yang di dalamnya terdapat foto Bunda Maryam dan Nabi Isa dalam ukuran besar. Foto ibu dan anak tersebut setiap perayaan tahunan seperti sekarang selalu diarak keliling Kota Asyut dengan dinaikkan ke kendaraan semacam kereta. Dalam waktu bersamaan, umat Kristen Koptik di sekitar Jabbal Asyut menggelar pasar malam dengan acara-acara meriah. Juga ada acara pembaptisan bayi dan anak-anak.
Peribadatan penganut Kristen Koptik memiliki sejumlah perbedaan dengan umat Kristen pada umumnya. Mereka mengaku memperoleh syiar agama lewat orang-orang suci pada zaman-zaman awal. Saya melihat foto Saint Markus dalam ukuran besar dipajang di dalam ruang gereja mereka. Orang suci itulah yang dimuliakan sebagai pembawa ajaran ke Mesir.
Salah satu di antara perbedaan tersebut adalah sembahyang tujuh kali dalam sehari yang mereka sebut sebagai as sab'u shalawat (salat tujuh waktu). Ibadah lima waktu di antaranya mirip dengan yang dijalankan oleh umat Islam, yakni pukul 06.00, 12.00, 15.00, 18.00, dan menjelang tidur. Sedangkan dua ibadah lain dilaksanakan pukul 09.00, yang mirip dengan salat Duha, dan tengah malam, yang mereka sebut sebagai nisyfu al lail, yang mirip dengan salat Tahajud. Mereka juga berpuasa 40 hari menjelang perayaan Paskah. Lalu, puncak perbedaan mereka dengan umat Kristen pada umumnya terdapat pada perayaan Natal. Mereka tidak memperingati Natal setiap 25 Desember, melainkan setiap 7 Januari.
Siti Maryam dan Nabi Isa adalah dua manusia yang sangat dimuliakan dalam Alquran. Mereka menjalani penderitaan dengan penuh kesabaran sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah, sang Ilahi Rabbi yang mengutus mereka. Pada zaman Raja Herodes yang beragama pagan, seperti para firaun, ibu dan anak itu diancam dibunuh karena dikhawatirkan melahirkan masalah bagi Kerajaan Romawi.
Atas perintah Allah, mereka menjauh untuk sementara. Kemudian, mereka kembali kepada Bani Israil, menyiarkan agama tauhid untuk menentang agama-agama pagan yang dianut kebanyakan bangsa Romawi waktu itu. "Telah Kami jadikan putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami). Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar, yang memiliki banyak padang rumput dan sumber air bersih yang mengalir (QS. 23: 50)." (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar