BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Sejarah peradaban Islam merupakan kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi dimasa silam yang diabadikan. Dimana pada saat itu Islam merupakan pokok kekuatan dan sebab timbulnya suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Sejak zaman Rasulullah SAW, kebudayaan Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya kekuatan politik dan daerah penganut Islam, terbentuk bermacam-macam struktur, ide, dan lembaga-lembaga dalam bidang politik, bidang ibadat, bidang hukum, bidang seni, bidang ekonomi, bidang sosial dan bermacam-macam bidang kebudayaan yang lain. Yang nampak jelas menonjol dalam perkembangan kebudayaan Islam yang berpusat pada al-Qur’an itu adalah kedinamisannya mampu menyerbu keluar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab, yang hidup terpencil di gurun-gurun pasir yang tandus.
Yang sangat menarik dalam perkembangan kebudayaan Islam dari abad ketujuh sampai ketiga belas adalah bagaimana kebudayaan dan agama yang berasal pada bangsa Arab di gurun pasir yang miskin dan terpencil dengan pimpinan Nabi Muhammad Saw dan khalifah-khalifah Rasyidin dan khalifah setelahnya, dan yang disebut pertama kali dari kebudayaan saat itu adalah ilmu.
Salah satu hasil dari perkembangan ilmu itu adalah munculnya para pemikir-pemikir atau ilmuwan-ilmuwan Muslim. Dimana hasil karya mereka, digunakan oleh para ilmuwan-ilmuwan zaman sekarang sebagai rujukan atau pedoman ilmu pengetahuan.
Di antara tokoh ilmuwan klasik yang bukunya dijadikan sebagai rujukan adalah Ibn Khaldun dengan bukunya yang begitu terkenal yaitu Muqoddimah Ibn Khaldun. Lewat hasil karyanya tersebut Ibn Khaldun disebut sebagai bapak sosiologi dan ilmu sejarah pertama di dunia. Seperti yang diungkapkan Dr. A. Zahoor, Ibn Khaldun is universally recognized as the founder and father of Sociology and Sciences of History.
Oleh Karena itu dalam makalah ini, penulis berusaha untuk membahas secara terbatas seputar Ibn Khaldun dan pemikirannya tentang sejarah peradaban Islam dan Negara. Penulis juga akan membahas sejauh mana sumbangsih pemikiran Ibn Khaldun dalam perkembangan masyarakat Islam pada era sekarang ini, yang dibumbui dengan masalah-masalah yang begitu komplek.
II. Rumusan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Siapakah Ibn Khaldun itu ?
2. Bagaiamana pemikirannya tentang sejarah peradaban Islam ?
3. Bagaimana konsepnya tentang Negara dan kekuasaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ibn Khaldun, sejarah dan budayanya
Abd Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun atau lebih dikenal dengan sebutan Ibn Khaldun merupakan salah seorang pakar Islam yang hidup antara tahun 1332 – 1395. Nama panjangnya adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hasan Ibn Khaldun lahir pada 27 Mei 1332 di Tunisia dan meninggal pada 17 Maret 1406 di Kaherah, Mesir.
Terlahir dari keluarga yang cukup mampu, Ibn Khaldun mampu mengenyam pendidikan yang cukup baik. Ia dikenal sebagai pakar sejarah Arab yang terbaik dan ia dikenal pula sebagai ahli sejarah kebudayaan dan ilmu sosial modern. Ibn Khaldun juga dikenal turut mengembangkan falsafah pemikiran Arab yang tidak berasaskan pada keagamaan paling awal, seperti yang terkandung dalam karyanya Muqaddimah (“Pendahuluan atau Pengenalan”). Ibn Khaldun juga dikenal sebagai ahli sejarah Muslim di Afrika Utara yang terulung.
Ibn Khaldun menjabat beberapa pekerjaan di bawah pemerintahan Tunisia dan Morocco dan pada tahun 1363 bertindak sebagai duta raja di Granada. Pemahamannya yang kuat terhadap al-Qur’an, kemampuannya dalam bidang hukum dan ketatanegaraan pun membuat ia sempat menjadi pegawai pemerintah di Damaskus dan Kairo, sebagai ahli hukum dan ketatanegaraan.
Sebagai penasehat politik yang memiliki padangan dan pemahaman luas terhadap berbagai negara Muslim, ia membangun kemampuan pemahaman dalam mengamati dan menganlisa perkembangan ekonomi, politik, dan sosial pada masanya. Karya-karyanya dipelajari ulang pada permulaan abad ke 19 oleh ahli-ahli Arab maupun Eropa. Bagi banyak masyarakat Arab ia dipandang sebagai sumber inspirasi dalam menemukan identitas dan definisi baru dalam hubungan masyarakat Arab dengan Barat. Sementara itu bagi para ahli-ahli yang ada di Barat, Ibn Khaldun diinterpretasikan sebagai perwujudan kemunculan tradisi pemikiran rasionalistik Islam dan tokoh terdepan dalam pemikiran ekonomi dan sosilogi di dunia Islam.
Beberapa ahli bahkan menyebut Ibn Khaldun sebagai „ Bapak Ekonomi (father of economics)“ yang sebenarnya atau dengan sebutan „Bapak Ilmu Sosial Modern (father of modern social science)“ serta mengklaim bahwa ide-ide yang digagas oleh Ibn Khaldun paling tidak mengilhami atau dicetuskan kembali, empat abad kemudian, oleh pemikir-pemikir seperti Adam Smith atau David Ricardo, dan kemudian oleh Karl Marx atau John Maynard Keynes. Muqaddimah, yang berati sebuah pendahuluan atau pengantar dari berbagai karyanya yang kemudian berbicara mengenai sejarah. Dalam karyanya ini Ibn Khaldun membangun teori perburuhan, termasuk ide menarik mengenai teori tentang nilai, teori pembagian kerja, teori mengenai perpajakan dan berbagai kerangka teori yang menyangkut beberapa area lainnya dan dapat dikatakan sebagai area “modern” untuk ukuran saat itu. Dalam berbagai tulisan mengenai ekonomi Ibn Khaldun menyokong adanya pasar terbuka yang didasari oleh permintaan dan penawaran. Ia juga menolak diberlakukannya cukai atau bea/pajak yang terlalu tinggi, perdagangan dengan orang asing dan percaya kepada kebebasan memilih bagi rakyat serta membiarkan mereka bekerja keras untuk diri mereka sendiri. Karya-karya Ibn Khaldun bermula pada penulisan mengenai sejarah orang-orang Arab dan suku-suku nomaden yang masih ada di wilayah Arab pada saat itu, yang dianalisa melalui pendekatan sejarah, politik, dan ekonomi. Ibn Khaldun dalam berbagai karyanya mempercayai bahwa berbagai hal yang telah ditetapkan Allah didalam Al Qur’an boleh dibuktikan secara empirik.
Ibn Khaldun juga turut memajukan konsep ekonomi, perdagangan dan kebebasan. Ia membangunkan idea bahwa tugas pemerintah adalah memberikan perlindungan kepada rakyatnya dari berbagai ancaman, melindungi harta mereka, menghindari adanya penipuan dalam perdagangan, mengurusi pencetakan uang, dan melaksanakan tata pemerintahan yang baik dengan memadukan persoalan sosial dengan kepentingan politik tanpa pemaksaan.
Ibn Khaldun memutuskan untuk pindah ke Alexandria, Kairo, Mesir, pada Oktober 1382, dimana ia menghabiskan hidupnya sebagai pengajar pada universitas Al-Azhar dan beberapa universitas lain. Ibn Khaldun pernah dilantik sebagai Hakim Diraja oleh Sultan Abul Abbas, yang pada saat itu berkuasa di Kairo, Mesir dan sempat pula mengerjakan ibadah haji pada tahun 1387.
2. Pemikirannya Tentang Sejarah Peradaban Islam
Mukaddimah, karya fenomenal Ibn Khaldun, bila dilihat dari sisi historinya (kesejarahannya), memiliki beberapa keunggulan[1]:
a. Falsafah sejarah
Penemuan ini telah memberikan sebuah cakrawala baru pemahaman tentang sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah ilmu dan memiliki filsafat. Sejarah bukanlah semata-mata annals (catatan kejadian), akan tetapi peristiwa-peristiwa sejarah itu terkait dengan determinisme kealaman dan bahwa fenomena sejarah adalah kejadian-kejadian dalam Negara. Disamping itu sejarah adalah ilmu tentang fakta-fakta dan sebab-sebabnya.
b. Metodologi sejarah
Ibn Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan watak benda-benda empirik, dikarenakan ilmu pengetahuan yang bisa digunakan adala observasi. Dia meletakkan kaidah-kaidah studi sejarah, yaitu interrelasi antara peristiwa lainnya dalam hubungan kausalitas, membandingkan kesamaan-kesamaan atau membedakan keadaan-keadaan, kini dan masa lampau, memperhatikan lingkungan dan berbagai pengaruhnya dengan perbedaan iklim, ekonomi dan yang lain sebagainya. Sehingga Ibn Khaldun mengatakan bahwa sejarah memiliki hubungan ekonomi. Dia berpendapat bahwa faktor utama dalam revolusi dan perubahan adalah ekonomi. Ibn Khaldun mengatakan “kemiskinanlah yang mendorong manusia untuk merampok dan perang”.
c. Penemu ilmu peradaban atau falsafah sosial
Pokok bahasan Ibn Khaldun dalam poin ini adalah kesejahteraan manusia dan kejesahteraan sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban sebagai ilmu baru, luar biasa dan banyak faedahnya. Menurut pendapatnya ilmu itu ialah adalah kaedah-kaedah untuk memisahkan yang benar dari yang salah dalam penyajian fakta, menunjukkan dari yang mungkin dan mustahil.
Peradaban lama akan memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus. Teori siklus memiliki pengertian bahwa dalam suatu peradaban selalu akan muncul peradaban yang baru, sejalan dengan itu pula peradaban lain akan mengalami kemunduran.
Berdasarkan teori siklus yang ditawarkan Ibn Khaldun ini, dapat dikatakan bahwa situasi peradaban Islam sekarang sedang dalam kondisi mengalami kemunduran akan tetapi di sisi lain peradaban baru dengan budaya dan sosio-kultur baru sedang dalam masa menuju kesuksesan. Akan tetapi pada suatu saat nanti peradaban Islam akan kembali menemui “khittoh”nya kembali, dimana ilmu pengetahuan akan menduduki “maqom” tertingginya.
3. Teorinya Tentang Negara dan Kekuasaan
Ibnu Khaldun juga mengemukakan suatu bahasan tentang filsafat politik, yakni dalam pengkajiannya tentang bentuk Negara, lembaga kenegaraan dan karakter kekuasaan di dinasti-dinasti dan Negara-negara Islam. Pengkajian in diuraikan mulai dari pasal keduapuluh lima sampai dua puluh delapan al-Muqaddimah. Dalam pasal ini dibahas mengenai khilafah atau imamah dan syarat-syaratnya, peralihan dari khalifah menjadi kerajaan, bai’at, kedudukan sebagai putra mahkota, gelar amirul mukminin, peringkat raja dan sultan, bagian-bagian pekerjaan dan perpajakan dan sekretariat Negara.[2]
a. Peran Politis Ashabiyah
Menurut Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu Negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik sosial-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah. karakteristik ini justru berada hanya dalam kerangka kebudayaan desa. Munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan melemahnya Negara.[3]
Ashabiyah adalah kekuatan penggerak Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu Negara atau dinasti. Bilamana Negara atau dinasti tersebut telah mapan, ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah. Ashabiyah mempunyai peran besar dalam perluasan Negara karena merupakan landasan tegaknya Negara tersebut. Bila ashabiyah itu kuat, maka Negara yang muncul akan luas, sebaliknya bila ashabiyah lemah, maka luas Negara yang muncul relative terbatas.[4]
b. Masyarakat dan Negara
Ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam terlepas dari persoalan apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia mengakui bahwa banyak peradaban dan Negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Khaldun, adanya masyarakat, Negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meski di lain pihak, Khaldun adalah seorang yang cerdas dalam ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan tafsir, sehingga kondisi ini mempengaruhi sikapnya terhadap tuhan, manusia dan masyarakat.[5]
Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan Negara . Menurut pemikiran Yunani Kuno bahwa Negara dan masyarakat adalah identik. Adapun Khaldun, ia berpendapat bahwa berkaitan dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup, baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan diri. Walaupun ada perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannnya disebut daulah yang juga merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan Negara dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang menetap, yang telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti kehidupan nomaden di padang pasir.[6]
Menurut Khaldun, kehidupan di padang pasir itu belum dapat disebut Negara. Negara yang mengandung pengertian peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat.
c. Negara dan Perkembangannya Sepanjang Sejarah
Negara menurut Khaldun adalah suatu makhluk hidup yang lahir, tumbuh menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti makhluk hidup lainnya. Khaldun berpendapat bahwa umur suatu Negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu genarasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. ketiga generasi tersebut ialah[7]:
1) Genersi pertama, hidup dalam keadaan primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
2) Generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan Negara, sehingga generasi ini beralih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan.
3) Generasi ketiga, Negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian.
d. Negara dalam perkembangannya melalui lima tahap:
1) Tahap Pendirian Negara
Tahap untuk mencapai tujuan, menaklukkan segala halangan dan rintangan untuk mendapatkan kekuasaan. Negara sendiri tidak akan tegak kecuali dengan ashabiyah. Khaldun berpendapat bahwa ashabiyah yang membuat orang menyatukan upaya untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri dan menolak atau mengalahkan musuh.
2) Tahap Pemusatan Kekuasaan
Pemusatan kekuasan adalah kecenderungan yang alamiah pada manusia. Pada waktu itu pemegang kekuasan melihat bahwa kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya menghancurkan ashabiah, memonopoli kekuasaan dan menjatuhkan anggota-anggota ashabiyah dari roda pemerintahan.
3) Tahap Kekosongan dan Kesantaian
Tahap untuk menikmati buah kekuasaan seiring dengan watak manusia, seperti megumpulkan kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak perkembangannya.
4) Tahap Ketundukan dan Kemalasan
Pada tahap ini, Negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun yang terjadi, Negara seakan-akan sedang menantikan permulaan akhir kisahnya.
5) Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan
Negara telah memasuki masa ketuaan dan dirinya telah diliputi penyakit kronis yang hampir tidak dapat ia hindari dan terus menuju keruntuhan.
Perlu dicatat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, serta mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila ia berpendapat bahwa segala sesuatu akan hancur.[8]
e. Konsep Ashabiyah Ibnu Khaldun.
Thaha Husein mengatakan bahwa kata ashabiyah berasal dari kata ‘ashabah yang berarti kelompok.[9] Menurut Yves Lacoste, ashabiyah adalah struktur sosio-politik yang membuat terjadinya peralihan dari masyarakat tanpa kelas menjadi masyarakat yang berkelas. Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan.[10]
Khaldun tidak hanya menjelaskan konsep ashabiyah sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, namun disamping itu juga menghadapkannya dengan konsep-konsep yang telah ada dan berkembang pada waktu itu.
1) Idealisme Vs Realisme
Di kalangan Umat Islam terdapat paham akan datangnya Ratu Adil (Imam Mahdi) yang terkenal dengan sebutan ‘mohdiisme’. Paham ini terutama berkembang di kalangan Syiah. Merekalah kelompok pertama dalam Islam yang merasakan ketidakadilan di bawah pemerintahan Bani Umayyah. Selain kaum Syiah, paham tersebut juga berkembang pada kaum sufi waktu itu. Meskipun keduanya mempunyai perbedaan pandangan dalam hal ini. Syiah berpendapat bahwa Mahdi adalah seorang tokoh historis yang hidup pada masa lampau kemudian menghilang, dan sedang menunggu perintah dari Allah untuk muncul kembali sebagai juru selamat.[11]
Sedangkan kaum Sufi berpendapat bahwa Mahdi itu manusia biasa yang akan dilahirkan pada suatu masa yang akan datang, dan setelah dewasa ia akan muncul mengemban misinya membebaskan masyarakat.
Paham akan datangnya Imam Mahdi tampaknya timbul akibat kesenjangan yang lebar antara prinsip ideal dan kenyataan aktual dari kehidupan masyarakat yang berkembang. Untuk merekonsiliasi antara ideal yang lama dengan real yang ada kini, masyarakat biasanya terpaksa mengacu kepada doktrin masa depan berupa harapan adanya kedatangan Ratu Adil.
Ibnu Khaldun secara terang-terangan menolak kedatangan Imam Mahdi. Ia meyakini bahwa masyarakat itu diatur oleh proses dialektis. Ibnu Khaldun berbeda dengan dialektika sufi yang terlalu banyak unsure idealisme. Pendorong utama di balik konsep dialektika Ibnu Khaldun adalah ashabiyah. Ia berpendapt bahwa Mahdi yang baik ialah Mahdi yang dapat mengarahkan ashabiyah yang tumbuh ke tujuan yang alami.
Ibnu Khaldun lebih menyukai mereka yang bergerak mengikuti, daripada mereka yang menentang dialektika sosial (bergerak melingkar dari baik ke buruk, kemudian menjadi baik kembali) sebagaimana konsep kaum sufi. Kalau boleh dibandingkan kritik Ibnu Khaldun terhadap kaum sufi mirip dengan kritik Marx terhadap Hegel yang menolak konsep idealisme Hegel dan menggantinya dengan realisme.[12]
2) Kekuasan Vs kebenaran
Khaldun tidak menyederhanakan persoalan hanya dengan menyatakan bahwa kekuatan ashabiyah yang akan menghasilkan kebenaran. Ia melihat ashabiyah dalam konteks nomaden. lebih lanjut ia mengatakan syeikh nomadis yang mempunyai ashabiyah yang kuat biasanya juga seorang pemimpin yang baik. Pribadi kekuatan dan kebenaran biasanya berjalan seiring. Ashabiyah yang kuat juga menunjukkan watak yang baik dan kualitas kepemimpinan yang tinggi.[13]
Kemudian Khaldun mengklasifikasikan raja kedalam pemimpin dan penguasa. Ternyata ashabiyah tidak memperoleh tempat bila kekuasaan memegang peranan. Apabila kekuasaan mulai mengganti kepemimpinan, ashabiyah setahap demi setahap kehilangan kekuatan dan akhirnya mati.[14]
3) Islam Vs Nomadisme
Khaldun mengklasifikasikan dari sudut pandang kontrol sosial, menjadi dua tipe: badarah dan hadharah (primitif dan peradaban). Di kalangan masyarakat primitive hubungan darah lebih diutamakan, control sosialnya masih cukup tinggi.[15]
Sebaliknya dalam masyarakat berperadaban, control social lebih rendah. Teori tersebut dalam sosiologi modern dikembangkan oleh Emile Burkheim dengan istilah solidaritas mekanis ( sama dengan badarah) dan solidaritas organis ( sama dengan hadharah).
Dalam hubungan ashabiyah dan agama, menurut Khaldun terdapat dampak timbal balik diantara keduanya. Lebih lanjut, Khaldun berupaya untuk mengkompromikan antara prisnsip ashabiyah dan prinsip Islam. Menurutnya ashabiyah yang dilarang adalah ashabiyah yang berkembang pada zaman jahiliyah yang timbul dari kesombongan dan keinginan utnuk bergabung pada suku-suku yang terkuat dan terhormat. Sedangkan ashabiyah yang didasarkan atas faktor-faktor keagamaan dan faktor duniawi yang legal, maka diperbolehkan.[16]
Nampak jelas disini, bagaimana luasnya khazanah pemikiran Khaldun mengenai konsep Negara dan kekuasaan. Sebelum ia merumuskan konsep Negara dan kekuasaan ia telah meneliti fakta-fakta sejarah yang terjadi di masyarakat Asia Barat, Asia Tengah Afrika, dan Eropa. Dia menemukan sebuah pola di mana pembentukan masyarakat sangat ditentukan oleh adanya sentimen primordial atau solidaritas sosial. Dia menyebutnya Ashabiyah. Adanya perasaan senasib sepenanggungan menyebabkan sentimen primordial itu menjadi demikian kuat. Masyarakat nomaden memiliki sentimen primordial jauh lebih kuat daripada masyarakat kota yang tinggal menetap.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan masalah yang terurai pada bagian terdahulu, maka dapat disimpulkan:
1. Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406 M) bukan hanya pioner dalam Ilmu Sejarah-Peradaban Islam, namun juga dalam pemikiran politik. Berbeda dengan filosuf Islam sebelumnya yang lebih menempatkan agama dalam negara secara normatif, Ibn Khaldun melihat agama secara realistis berdasarkan peran dan manfaatnya dalam pembangunan kekuasaaan negara. Pokok pikirannya itu dituangkannya dalam bentuk buku, dengan judul Mukaddimah yang dikemudian hari buku tersebut menjadi sebuah karya yang fenomenal. Dan buku ini menjadi rujukan para ekonom, politik, sejarahwan dan sosiolog dalam menemukan teori-teori baru.
2. Sejarah peradaban secara umum dan secara peradaban Islam khususnya dalam perjalannya akan mengalami sebuah tahapan-tahapan perubahan atau pergeseran yang oleh Ibn Khaldun disebut dengan teori siklus. Menurut teori ini peradaban yang lama akan berganti dengan peradaban yang baru dikarenakan peradaban yang lama mengalami kemunduran. Sehingga dari teori ini dapat diambil sebuah konsepsi bahwa sejarah peradaban Islam lama yang mengedepankan ilmu pengetahuan, yang melahirkan banyak cendikiawan telah berganti dengan sebuah peradaban Islam yang lebih mengedepankan “keduniawian” karena pengaruh budaya barat. Akan tetapi jika telah tiba masanya maka peradaban Islam yang sekarang ini akan mengalami pergeseran menuju peradaban baru yang kembali akan mengusung ilmu pengetahuan sebagai jargonnya.
3. Dengan keluasan khazanah keilmuannya, Khaldun telah memberikan sebuah konsep yang begitu “indah” tentang Negara dan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa Negara itu akan maju jika memiliki ashabiyah (sosio-kultur, sentimen-primordial, solidaritas sosial). Ashabiyah adalah sebuah perasaan senasib, sepenanggungan. Bila sebuah Negara itu dibangun dengan perasaan itu maka Negara itu maju dengan pesat. Menurut Khaldun, ashabiyah itu sangat nampak jelas di masyarakat pedesaan, karena adanya sifat “guyubisme” yang sudah kental tumbuh secara turun menurun di tengah masyarakat desa. Akan tetapi ashabiyah ini akan hilang bila suatu Negara itu menggunakan falsafah kekuasaan bukan falsafah kepemimpinan. Karena terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara kekuasaan dengan kemimpinan. Negara yang dibangun atas dasar kekuasaan akan menghalalkan secara cara untuk bisa melanggengkan bahkan meluaskan sayap-sayap kekuasaanya. Bahkan rakyat pun akan menjadi sarana untuk bisa mewujudkan kekuasaan tersebut. Sehingga dengan kondisi yang seperti in maka ashabiyah akan hilang. Berbeda bila suatu Negara itu dibangun atas dasar falsafah kepemimpinan, maka raja atau penguasa akan memposisikan dirinya sebagai mitra kerja rakyat. Rakyat akan menjadi indikator kesuksesan Negara. Dengan kondisi yang demikian maka ashabiyah akan bisa tetap dipertahankan.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Syamsuddin. Agama dan Masyarakat, Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Al-Khudhairi , Zainab. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Bandung: Pustaka, 1995.
Al-Khudori, Zainab. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Ba’ali, Fuad dan Ali Mawardi.Ibnu Khaldun dan Pola Pemikrian Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Enan, Moh. Abdullah. Ibnu Khaldun. His life and Work. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1941.
Fachry, Madjid. A History of Islamic Philosophy. New York: Colombia University Press, 1988.
Ma’arif, Ahmad Syafe. Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat . Bandung: Mizan, 1998.
Zainab. Perkembangan Pemikiran Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
[1] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, Pendekatan Sosiologi Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 58-59.
[9] Dr. Zainab Al-Khudori. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 143-145.
[11] Fuad Ba’ali dan Ali Mawardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikrian Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hal. 77
[16] Zainab, hal. 114