Terbit Pada Hari Jum'at, 27 Pebruari 2015, di Rubrik Religi Malang Post
KERENDAHAN HATI AHLI ILMU
Dikisahkan ada seorang syeikh yang memiliki ketinggian ilmu dan sangat shaleh. Karena ketinggian ilmunya dan keshalehannya, banyak orang yang menyebutnya dengan waliyullah. Suatu waktu ketika sang syeikh sedang berjalan-jalan dia bertemu dengan seorang yang berperangai kasar yang meminta bantuannya yaitu mengangkat benda miliknya. Dengan sangat senang hati sang syeikh membantunya dengan mengangkat benda milik orang yang kasar itu.
Banyak warga yang mengetahui kejadian itu menyalahkan orang kasar tersebut karena “memerintah” sang syeikh. Akan tetapi dengan sangat rendah hati sang syeikh mengatakan, “ jangan salahkan dia, karena melalui dia Allah Azza Wajalla menjaga hatiku dari tipu daya kesombongan”.
Sekelumit cerita di atas memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, janganlah karena memiliki ilmu yang tinggi dan keshalehan yang tinggi, membuat seorang Muslim menjadi sombong, congkak, arogan bahkan angkuh.
Kadang penyakit angkuh diri mengidap sebagian orang yang berilmu dan berpendidikan tinggi, walau masih banyak juga yang berpendidikan tinggi tetapi masih rendah hati. Kadang yang berpendidikan formal memandang rendah yang hanya berpendidikan non formal. Yang lulusan perguruan tinggi negeri memandang rendah yang hanya lulusan perguruan tinggi swasta. Yang sarjana memandang rendah yang bukan sarjana. Padahal ilmu itu seluas samudera yang tidak dibatasi sekat-sekat. Apalagi ilmu hakikat dan makrifat.
Kata pepatah, di atas langit masih ada langit, jadi jauhilah sombong. Ikutilah ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Jadi semakin kita berilmu makan semakin rendah hati pula kita. Semakin shaleh kita semakin tawadlu kita kepada Allah Azza Wajalla.
Berbicara sombong, dalam sabdanya Nabi menyampaikan ada dua ciri manusia yang sombong. Pertama, orang sombong memiliki sifat batharalul haq, yakni sifat yang suka menolak kebenaran orang lain hanya karena orang itu keilmuan dan keshalehannya lebih rendah dari dirinya.
Kedua, sifat ghamtu al-nas, yaitu sifat suka meremehkan atau merendahkan orang lain, karena memandang dirinya adalah segala-galanya. Karena keangkuhannya, maka orang sombong tidak akan mau menyimak dan menerima pendapat orang lain meskipun benar.
Nabi juga bersabda “ tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan”. Di lain hadits nabi juga bersabda, “cukuplah bagi sesorang suatu kejahatan bila ia menghina saudaranya yang Muslim” .
Bahkan Nabi juga selalu berdoa agar terhindar dari kesombongan, seperti dalam sabda beliau “ aku berlindung kepada Allah dari siksa kesombongan”. Sangat banyak sabda Nabi yang mengajak umat Muslim menjauhi segala bentuk kesombongan dan keangkuhan diri. Dan mengajak manusia untuk mengedepankan perangai rendah hati atau tawadlu. Ingat rendah hati bukan berarti rendah diri.
Allah subhanahu wa ta’ala pun telah mengingatkan kita semua agar menjauhi sifat dan sikap sombong, seperti yang tergambar dalam surat al-Isra ayat 37 : “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”.
Apalagi ilmu yang kita miliki ini adalah anugerah dari Allah subhanahu wa ta’ala, jika bukan anugerah Allah subhanahu wata’ala ilmu itu tidak ada dalam diri kita. Maka tidak pantas kita berlaku sombong.
Coba kita lihat bagaimana Allah subhanahu wata’ala telah menghancurkan orang-orang yang berlaku sombong di muka bumi ini. Fir’aun karena sombong dengan kekuasaannya, dia dihancurkan Allah subhanahu wata’ala. Qorun yang sombong karena hartanya, Allah subhanahu wata’ala tenggelamkan ke dalam tanah beserta harta yang dia banggakan. Hamman yang sombong karena keilmuannya juga Allah subhanahu wata’ala hancurkan.
Ketiga orang itu adalah orang-orang hebat di masanya, yang kehebatannya “mungkin” tidak bisa ditandingi pada masa sekarang, tapi karena sombong Allah subhanahu wata’ala hancurkan mereka semua. Seperti yang Allah subhanahu wata’ala firman dalam surat Gafir ayat 21 : Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.
Akhirnya, ingatlah ilmu, harta dan kekuasaan dan apa-apa yang dimiliki di dunia ini sifatnya fana dan hanya titipan dan Allah Azza Wajalla, masih pantaskan kita sombong?
Wallahu a’lam bish-shawab.
Terbit Pada Bulan Januari 2015 di Rubrik Religi Malang Post
MUHASABAH DI AWAL TAHUN
1. Demi masa, 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-‘Ashr : 1-3)
Firman Allah Swt. di atas berbicara tentang arti penting waktu. Berbicara waktu, sifat utama waktu adalah akan terus berputar dan tidak bisa berulang. Hari dan tahun terus berganti. Waktu juga sebagai penanda usia yang selalu bertambah.
Ketika angka usia bertambah, pada hakikatnya jatah hidup manusia di dunia semakin berkurang dan semakin dekat dengan pintu kematian. Dan semua manusia pasti melewati pintu takdir itu. Seperti yang telah Allah Swt. firmankan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 185 : Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Saat ini kita berada pada bulan penghujung tahun. Tentunya banyak hal yang telah kita lewati di antara ruang dan waktu yang selalu silih berganti. Di dalamnya ada harapan yang menjadi kenyataan, dan tidak sedikit pula kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
Dalam menyambut pergantian tahun itu, yang perlu kita pahamkan dalam diri kita sebagai umat yang beriman kepada Allah Swt. adalah untuk banyak bermuhasabah diri (baca: instropeksi diri), bukan huru hara menghabiskan malam tahun baru dengan pesta pora yang kadang banyak membawa mudharat.
Berbicara terkait muhasabah diri, tolok ukur yang bisa kita gunakan dalam bermuhasabah adalah surat al-‘Ashr. Ada 3 hal yang harus kita muhasabah-I dalam hidup kita. Pertama, iman (akidah) kita. Mengapa iman (akidah) yang harus kita evaluasi (baca: perhatikan), karena banyaknya kemaksiatan, rusaknya moralitas dan semakin hilangnya rasa malu karena semakin tergerusnya iman (akidah) dari dalam diri kita.
Akidah yang utama adalah tauhid, dan kemurniaan tauhid harus selalu disterilisasikan dari syirik dan variannya. Agar akidah kita berlandaskan tauhid yang benar maka tauhid itu harus dibangun dengan ilmu.
Kedua, adalah amal, pertanyaan yang harus kita jawab adalah, apakah selama ini kita sudah beramal shalih berdasarkan dalil yang benar (baca: sahih)? Karena banyak orang yang sudah beramal shaleh dan menyangka akan mendapatkan pahala, akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa, dikarenakan orang tersebut beramal shaleh tanpa ilmu. Sehingga amalnya menjadi sia-sia.
Coba kita perhatikan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 104, Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Dalam ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita semua agar kita tidak terbuai dengan amal-amal shaleh yang telah kita perbuat, karena bisa jadi amal-amal shaleh yang telah kita perbuat akan menjadi sia-sia karena amal shaleh itu kita lakukan tanpa ilmu.
Ketiga, yang harus kita muhasabah-I adalah saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, karena di sisi Allah Swt. tidak sempurna bila keimanan dan keshalihan itu bila hanya bersifat personal. Keimanan dan keshalihan seseorang baru bernilai sempurna bila telah ditransformasikan menjadi keshalihan dan keimanan social.
Untuk mewujudkan keimanan dan keshalihan social diperlukan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran atau yang biasa kita sebut dengan dakwah. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-A’la ayat 9, oleh sebab itu berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.
Inilah tiga tolok ukur kita dalam bermuhasabah untuk menyambut tahun baru 2015. Muhasabah ini harus kita lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup kita agar lebih baik lagi dan kita tidak tertipu dengan dunia dan waktu. Agar manusia yang beriman bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini, maka manusia yang beriman tidak boleh berhenti untuk selalu mengevaluasi diri seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Hasyr ayat 18, Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Akhirnya marilah kita renungkan pesan sahabat Umar ibn Khattab, hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pertemuan yang agung.
Marilah kita sambut tahun baru 2015 dengan lebih banyak bermuhasabah guna meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik lagi, dan marilah memaknai pergantian hari dan tahun ini dengan lebih banyak bermuhasabah. Agar kita tidak menjadi hamba Allah Swt. yang merugi (innal insaana lafii khusrin).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar