PENDIDIKAN NILAI : Sebuah Tantangan dan Harapan

BAB I
PENDAHULUAN


I. LATAR BELAKANG MASALAH
Mengapa para pejabat negara dan politisi semakin gandrung melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) ? Mengapa aparat penegak hukum cenderung melanggar peraturan-peraturan hukum yang mereka buat sendiri ? Mengapa para elite politik suka ”cakar-mencakar” dan berusaha menjatuhkan lawan-lawan politiknya ? Mengapa kaum intelektual cenderung melanggar etika profesinya dan visi-misi luhurnya ? Mengapa sesama anak-anak bangsa senang menabur benih-benih kebencian, permusuhan, dengki, dan dendam ? Mengapa para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba, dan aneka macam penyakit sosial lainnya ? Mengapa antar sesama anggota keluarga sering terjadi percecokan, perkelahian, bahkan berakhir pada pembunuhan ? Mengapa hidup kita selalu diwarnai tragedi-tragedi kemanusiaan yang memilukan, dan seterusnya ?
Salah satu jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah karena kita gagal menumbuhkembangkan pendidikan nilai, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir ini, pembangunan kita cenderung berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis, yaitu hasil yang bisa dilihat dengan mata dan dinikmati oleh perut.
Institusi pendidikan yang fungsi awalnya untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, saat ini tidak lebih dari sekadar lembaga bisnis dan industri yang melihat peserta didik (siswa-siswi) sebagai objek yang siap menjadi ”ATM”.
Pada saat yang bersamaan, moral dan etika bukan lagi menjadi ”menu bergizi” bagi murid sekolah (juga guru), tetapi telah menjadi ”komoditas eceran”. Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan kepada kehidupan.
Sementara empati tak mungkin muncul tanpa kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, golongan, dan lainnya. Nilai merupakan integritas hidup seseorang yang akan tercermin dalam pilihannya : cara berpakaian, teman-teman yang dipilih pasangan hidup, interaksi sosial, dan bagaimana hubungan keluarga dengan saudara-saudaranya. Nilai juga berkaitan dengan masalah baik dan buruk. Tolok ukur kebenaran sebuah nilai dalam perspektif filsafat adalah aksiologi.
Sehingga pendidikan nilai membantu banyak orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak diprioritaskan, mana yang perlu dan mana tidak perlu.
Masalah mendasar dalam pendidikan nilai, ada tiga masalah mendasar yang mesti dipahami oleh para pendidik (guru) dan siapa saja, yaitu apa yang harus diajarkan (filsafat), bagaimana anak belajar dan memahami nilai moral (psikologi), serta bagaimana perannya dalam masyarakat nantinya (sosiologi).
Menolak pentingnya filsafat berarti menerima saja yang diperintahkan oleh suatu sistem tertentu. Mengesampingkan psikologi sebagai suatu sarana didaktik metodik pendidikan berarti membiarkan para pendidik seenaknya menggunakan metode-metode pendidikan yang belum teruji kebenaran ilmiahnya. Mengabaikan hakikat tujuan pendidikan moral dalam rangka sejarah (masyarakat) berarti menerima saja masyarakat seperti apa adanya tanpa peduli mengenai apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Pendidikan nilai, moral dan etika merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir semua mata pelajaran sekolah. Keberhasilan menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai tersebut tergantung dari peranan pendidik (guru) yang mendukung sistem penyelenggaraan pendidikan sekolah dan sejauh mana komitmen masyarakat dan pemerintah dalam memberikan teladan kepada anak-anak. Dari perbuatan mendidik dan para pendidik, dapat diketahui bahwa nilai-nilai kependidikan terjelma secara langsung ataupun tidak langsung dalam setiap keputusan yang diambil oleh pendidik.
Pendidikan nilai tidak dapat dilaksanakan dengan pengajaran di tengah-tengah pelanggaran moral dan anomali yang terus terjadi seperti sekarang ini. Musuh utama pendidikan nilai ialah birokrasi yang korup dan serakah, politisi yang berperilaku ‘’seperti preman”, konglomerat (pengusaha) yang merampas hak-hak ekonomi rakyat, para pendidik yang menempatkan siswi-siswi sebagai ‘’sapi perah”, para selebritis yang gonta-ganti pasangan, dan aneka macam penyakit moral. Pendidikan nilai tidak sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup.
Terlepas dari problematika dan kebingungan di atas, maka pendidikan nilai kepada anak didik tetap harus diberikan sesuai dengan kebutuhannya bahkan harus lebih, guna membendung kemerosotan-kemerosotan moral yang lebih parah lagi terjadi.
Oleh karena itu dalam makalah ini, penulis akan membahas terkait dengan pendidikan nilai dalam dunia pendidikan Islam. Sehingga nanti akan didapatkan hasil yang komprehensif tentang pentingnya pendidikan nilai dalam pembentukan moral anak didik.

II. RUMUSAN MASALAH
Guna lebih memfokuskan pembahasan, maka dalam makalah ini, penulis akan merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa pengertian pendidikan nilai dalam dunia pendidikan Islam ?
2. Bagaimana penerapan pendidikan nilai dalam dunia Islam ?


BAB II

PEMBAHASAN



I. PENDIDIKAN NILAI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini telah menggiring manusia kepada bidang keahlian tertentu sebagai konsekuensi logis dari persaingan antar bidang ilmu yang telah terspesialisasi sedemikian rupa. Seseorang tidak lagi bisa menjadi generalis, karena ia telah dibatasi oleh sekat-sekat ilmu yang ditekuninya. Lebih diperparah lagi jika seseorang tidak mampu lagi bahkan sekedar menengok bidang-bidang lain yang bukan spesialisasinya, atau bidang ilmu yang ditekuni itu tidak lagi dilandasi dan dijiwai, bahkan mungkin tak tersentuh sama sekali oleh nilai-nilai moral universal (baca nilai-nilai agama). Selain itu pada masyarakat modern terlihat kecenderungan berperilaku serba instan, praktis, ingin serba cepat. Akibatnya keinginan serba cepat itu kadangkala menyebabkan aturan dilanggar, nilai-nilai moral terabaikan, dan lain sebagainya. Sikap manusia modern seperti ini telah digambarkan oleh Al-Qur’an dengan kata-kata al-’ajalah (ketergesa-gesaan, serba instan), yang disebutkan dalam surat Al-Qiyamah ayat 20-21.
Sesungguhnya tidak salah keinginan serba cepat dan tidak bertele-tele itu sepanjang tetap dalam koridor nilai-nilai dan norma-norma moral. Ketepatan waktu, kedisiplinan, mau antre, tidak menyogok untuk dapat didahulukan kepentingannya sendiri sementara orang lain dibelakangkan, dan lain sebagainya. Sikap ingin serba cepat dalam setiap persoalan ini memang merupakan salah satu karakteristik manusia, seperti digambarkan dalam surat Al-Isra ayat 11 : ” .....dan adalah manusia diciptakan selalu bersifat tergesa-gesa” . Pemberdayaan masyarakat untuk tetap memegang nilai-nilai bukanlah suatu perkara mudah, tetapi harus dilakukan. Sebab, tanpa memahami nilai-nilai itu maka mustahil seseorang mampu mempraktekkannya dalam kehidupan. Disadari betul bahwa cara satu-satunya yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan.
Nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang telah menghayati nilai kejujuran sebagaimana dijarkan oleh Islam akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dalam pembinaan akhlak, perhatian yang cukup besar hendaklah dberikan terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Masa kanak-kanak adalah mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab “kesan” pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Dalam hal ini peran ibu dalam pendidikan akhlak sangat penting. Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak (al-ummu madrasatul ula). Masalahnya sekarang, tidak semua orang tua di rumah memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Demikian juga tidak semua orang tua mampu memahami dan menerapkan teknik-teknik pendidikan akhlak secara baik kepada anak sesuai dengan perbedaan usia dan perkembangan maturasinya. Disinilah letak pentingnya sebuah lembaga pendidikan atau yang kita kenal dengan sekolah.
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang berperan aktif menanamkan nilai-nilai kepada para peserta didik harus memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan nilai ini. Penerapan pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua unsur yang terlibat di sekolah itu. Iklim sekolah harus memberi peluang terjadinya interaksi positif antara peserta didik dengan nilai-nilai yang akan diinternalisasikan, baik melalui keteladanan personal, diskusi, maupun proses belajar mengajar dalam arti seluas-luasnya. Komunikasi pendidik dengan peserta didik harus baik yang didasari pada adanya penerimaan kedua belah pihak. Muatan komunikasi itu juga penting agar mengarah kepada nilai-nilai yang diinginkan.
Pendidikan nilai harus ditanamkan kepada peserta didik sebelum mereka mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah amat sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk (reconstruction of personality). Oleh sebab itu nilai-nilai Islam dalam bentuk akhlak al-karimah sudah terkristal dan terinternalisasi sejak kecil agar menjadi sikap hidup yang tak memerlukan lagi pengawasan dari luar diri individu. Ada atau tidak ada polisi akan berhenti otomatis bila lampu merah lalu lintas menyala. Ada atau tidak ada orang yang melihat secara otomatis akan menjalankan kewajibannya kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Apa yang gencar disosialisasikan akhir-akhir ini dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelegence) pada dasarnya adalah metode Al-Qur’an dalam menanamkan nilai-nilai akhlak kepada manusia. Gerakan ketrampilan emosional yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman adalah mengubah istilah pendidikan afektif secara terbalik, yaitu bukan menggunakan perasaan untuk mendidik, melainkan mendidik perasaan itu sendiri. Di sinilah pendidikan nilai memegang peran penting karena mendidik perasaan manusia agar peka terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur untuk diimplementasikan dalam kehidupan individu maupun kelompok.
Nilai-nilai yang dimaksud tersebut harus berhubungan dengan proses dan tujuan pendidikan dari banyak sudut, seperti dengan isi kurikulum, tujuan pengajaran berbagai mata pelajaan, dasar-dasar seleksi dan pengelompokkan siswa, motivasi pengajaran dan dimensi-dimensi proses pendidikan lainnya. Artinya bila pendidikan nilai bisa diimplementasikan pada semua bidang pendidikan maka tujuan pendidikan nilai akan terwujud.
II. KONSEP PENDIDIKAN NILAI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Teori Nilai membahas dua masalah yaitu masalah etika dan estetika. Etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Dan oleh karena itu nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Bahkan ada yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu itu karena ia tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai yang sangat tinggi karena itu sangatlah berharga baginya.
Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kita kembali kepada ilmu pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika dimana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan dan mempunyai pandangan yang tidak sama terhadap nilai itu.
1. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etka ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tndakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
Secara singkat definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah bahwa fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk akan tetapi dalam prakteknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidak terlepas dari alam masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.
Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika itu haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Perbuatan manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu orang-orang yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat, maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika.
2. Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.
3. Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak sendiri. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika. Demikianlah persyaratan perbuatan manusia yang dapat dikenakan sanksi (hukuman) dalam etika.
2. Estetika
Estetika dan etika sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai alam semesta ini.
Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama, sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata bahwa keindahan itu bersifat metafisika (abstrak). Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap.
Bentuk-bentuk Pendidikan Nilai
Ada dua pembagian besar tentang bentuk-bentuk nilai. Pertama, nilai dipandang sebagai konsep, dalam arti memberi nilai atau timbangan (value). Kedua, nilai dipandang sebagai proses penetapan hukum atau penilain (to evaluate). Bentuk-bentuk nilai pendidikan dapat juga dibedakan dengan mendefinisikan apa “yang diingini” dan apa yang disukai. Nilai pendidikan dalam hubungannya dengan keinginan bisa berbentuk “ apa yang diingini” pada taraf individu dan “apa yang disukai” atau “apa yang dicintai” pada taraf sosial.
Nilai juga berkaitan dengan masalah baik dan buruk. Tolok ukur kebenaran sebuah nilai dalam perspektif filsafat adalah aksiologi. Berdasarkan tinjauan aksiologi, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak dan nilai relative, nilai intrinsik (dasar) dan nilai instrumental . Nilai mutlak bersifat abadi, tidak mengalami perubahan dan tidak bergantung pada kondisi dan situasi tertentu. Nilai relative tergantung pada situasi dan kondisi dan oleh karenanya selalu berubah. Nilai instrinsik ada dengan sendirinya dan tidak menjadi prasyarat bagi nilai-nilai yang lain. Sebaliknya nilai instrumental berfungsi sebagai syarat bagi nilai instrinsik.
Islam memandang adanya nilai mutlak dan nilai instrinsik yang berfungsi sebagai pusat dan muara semua nilai. Nilai tersebut adalah tauhid (uluhiyah dan rububiyah) yang merupakan tujuan (ghayah) semua aktivitas hidup muslim. Amal shalih dalam Islam merupakan nilai instrumental yang berfungsi sebagai alat dan prasyarat untuk meraih nilai tauhid.
Dalam praktek kehidupan justru nilai-nilai instrumental itulah yang banyak dihadapi oleh manusia. Seperti perlunya nilai amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan, etos kerja dan disiplin. Oleh karenanya Islam menekankan perlunya nilai-nilai tersebut terus dibangun pada diri seseorang sebagai jalan menuju terbentuknya pribadi yang tauhidi.
Dalam menjabarkan konsep nilai baik dasar maupun instrumental sebagai bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan Islam dapat dielaborasi dari :
1. Nilai-nilai yang banyak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadits yang semuanya terangkum dalam ajaran akhlak yang meliputi akhlak dalam hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri dengan sesama manusia, dengan alam dan dengan makhluk lainnya.
2. Nilai-nilai universal yang diakui adanya dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia karena hekekatnya sesuai dengan fitrah manusia seperti cinta damai, menghargai hak asasi manusia, demokrasi, kepedulian sosial dan kemanusiaan.
Dengan adanya elaborasi nilai-nilai dari butir pertama dan kedua diatas sebagai kurikulum pendidikan Islam semakin menunjukkan bahwa pengajaran nilai dalam pendidikan Islam tidak terbatas menjadi tanggung jawab pendidikan agama sebagai sebuah bidang studi, tetapi terintergrasi dengan dalam seluruh bidang studi.
Akhirnya dengan adanya intergrasi antara pendidikan nilai dengan bidang studi lainnya, diharapkan akan memunculkan outcame yang tidak hanya mumpuni dalam bidang ilmu umum tetapi juga memiliki akhlak yang baik. Karena landasan filosofis pendidikan nilai adalah untuk menjawab pertanyaan tentang kegunaan pendidikan nilai, bagaimana manusia harus hidup dan bertindak berdasarkan nilai yang benar baik dalam perspektif masyarakat maupun dalam perspektif agama.
Upaya pendidikan nilai diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki criteria:
1. Qalbun Salim (manusia yang memiliki hati yang sehat).
2. Rabbaniyah (manusia yang memiliki potensi ruhaniyah), seperti fitrah (QS. 30:30), qalb (QS. 22:46) aql (QS. 3:190-191), potensi ini sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya (QS. 17:70) yang berbeda dengan makhluk yang lainnya. Sebab manusia dengan kealimannya dan kebijaksanaannya, maka akan berlaku luwes dan fleksibel.
3. Qalbun Lathif (manusia mempunyai hati yang lunak) (QS. An-Nahl:78) bahwa Allah telah menyediakan bagi mereka neraka jahannam bagi manusia dan jin karena mereka mempunyai hati yang tidak dapat memahaminya, dimungkinkan sebab tidak memperhatikan akan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk dari Allah Yang Maha Kuasa.
Sedangkan pendidikan nilai diharapkan akan melahirkan manusia yang memiliki criteria:
1. Hilmun, yaitu kesanggupan atau kemampuan untuk menolak argumentasi orang yang bodoh dengan bahasa yang santun.
2. Wara, yaitu tidak rakus, rendah hati, yang mampu membentengi dirinya dari perbuatan maksiat.
3. Husnul khuluk, berakhlak baik sehingga ia bisa hidup di antara manusia.

BAB III
PENUTUP


Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan :
1. Nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang telah menghayati nilai kejujuran sebagaimana dijarkan oleh Islam akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Sehingga dengan adanya pendidikan nilai ini akan memunculkan generasi-generasi yang berwawasan luas dan berakhlaqul karimah.
2. Konsep penerapan pendidikan nilai dalam pendidikan Islam adalah dalam intergrasi intergrasi antara pendidikan nilai dengan bidang studi lainnya, sehingga dengan adanya intergrasi itu diharapkan akan memunculkan outcame yang tidak hanya mumpuni dalam bidang ilmu umum tetapi juga memiliki akhlak yang baik. Karena landasan filosofis pendidikan nilai adalah untuk menjawab pertanyaan tentang kegunaan pendidikan nilai, bagaimana manusia harus hidup dan bertindak berdasarkan nilai yang benar baik dalam perspektif masyarakat maupun dalam perspektif agama. Sebagai sebuah contoh adalah dalam pengajaran biologi dalam pendidikan Islam harus menggantarkan peserta didik pada keimanan terhadap Allah. Sehingga implikasi logisnya adalah guru bidang studi non agama dalam system pendidikan Islam juga harus memiliki komitmen terhadap pendidikan keimanan dan nilai-nilai lain yang terkait dalam bidang-bidang studi tertentu.


BAB VI
ANALISA PENULIS


Melihat bagaimana pentingnya pedidikan nilai dalam membentuk moral kepribadian anak, memang sekarang sudah saatnya para pengajar untuk mengkonsep sebuah pendidikan nilai yang baik. Karena dengan adanya pendidikan nilai maka akhlak peserta didik kita akan terbentengi dengan baik pula. Artinya pendidikan nilai ini adalah penyeimbang bagi pendidikan umum yang telah mereka dapatkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jika anak didik hanya “dicekoki” dengan pendidikan umum saja tanpa penyeimbangnya maka yang bermunculan nantinya adalah generasi-generasi bangsa yang tidak mengerti akan di bawa kemana ilmu yang telah miliki. Pendek kata, mereka akan menjadi ilmuwan-ilmuwan yang pintar untuk “mengakali” masalah. Misalkan para koruptor itu adalah orang-orang yang berilmu, orang-orang yang cerdas tetapi karena pendidikan nilai yang ada dalam dirinya masih sangat dangkal maka yang terjadi adalah kepintaran mereka malah membuat mereka menyengsarakan bangsa dan Negara.
Akan lain ceritanya jika pendidikan nilai mereka mumpuni maka dengan kepintarannya itu mereka tentu bisa menjadikan ilmunya bermanfaat untuk kepentingan orang banyak.
Sehingga pendidikan nilai ini perlu di intergrasikan dengan bidang-sidang studi lainnya. Bila sudah ada kesinergisan antara pendidikan nilai dengan bidang studi lainnya maka outcame kita akan tidak hanya pintar dalam sains atau ilmu umum tetapi juga akan pintar dalam hal akhlaknya. Sehingga kontribusi positif bagi bangsa dan Negara kita adalah kemajuan yang bisa membuat Negara kita bisa berbicara banyak di kancah internasional.


BIBLOGRAFI

Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aly, Hery Noer. 2005. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friskan Agung Insani.
Dagobert, Runnes. 1959. Dictionary of Philosophy. Iowa: Littlefield, Adams and co.
Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “ Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Oktober 1996.
Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yoyakarta: Reka Asih.
Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu Dari Hakekat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2007. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

MULTIPLE INTELLEGENCES,Revolusi Pembelajaran PAI

BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara tentang pendidikan, kerap kali pikiran orang hanya terpusat pada dimensi akademis yang menjadi tolak ukur dalam kemajuan intelektualitas anak didik. Padahal terdapat multi aspek yang terkait di dalamnya, mulai dari pekembangan psikologi anak hingga pembentukan karakter, pribadi yang kualitas.
Dalam rumusan UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Anak didik dan proses pembelajaran merupakan dua dimensi berbeda yang perlu disinkronisasikan secara holistik dan terpadu. Penyelarasan antara aspek pembelajaran dengan perkembangan anak didik akan membangkitkan motivasi dan gairah belajarnya. Menurut teori Multiple Intelligence, bahwa setiap anak memiliki aneka ragam kecerdasan, yaitu meliputi; bahasa, logika, musikal, visual atau spasial, kinestetik, intrapersonal dan interpersonal.
Selama ini, yang dianggap sebagai kecerdasan adalah melulu kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika (matematika), sedangkan yang lain dianggap tidak, atau sekurang-kurangnya “tidak berhubungan langsung”, dengan masalah kecerdasan. Menurut pakar psikologi, Howard Gardner, proses pembelajaran atau lebih dikenal dengan sebutan kata “mendidik” erat kaitannya dengan pelibatan semua elemen saraf dan potensi yang ada di alam jiwa anak itu.
Proses pembelajaran bukanlah sekadar masalah cara belajar, melainkan menyangkut cara terbaik bagi seseorang untuk menerima dan memahami informasi. Pada umumnya, orang belajar dengan membaca, tapi orang-orang
Tertentu dapat memahami lebih baik dengan cara mendengar atau mengamati. Ada juga yang senang berdiskusi dengan orang lain, tapi ada yang lebih cepat mengerti dengan cara melihat gambar atau bagan.
Dengan cara seperti itu berarti tidak ada anak yang tidak berbakat, semua pasti punya bakat, meski masing-masing anak bisa berbeda bakatnya. Bertolak dari realitas tersebut, kini metode pembelajaran diarahkan untuk pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Hakikat dari tujuan pembelajaran adalah untuk menumbuhkan semangat belajar anak didik agar berkembang potensinya secara utuh. Melalui pembelajaran berbasis “Multiple Intelligence” ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kesenjangan “kecerdasan” pada pribadi anak didik.
Pendekatan “Multiple Intelligence” dapat diterapkan ke dalam setiap jenis mata pelajaran, baik bidang studi eksak (ilmu-ilmu pasti) maupun sosial, termasuk ilmu agama. Apalagi dengan berkembangnya sains modern dan kemajuan bioteknologi seperti saat ini, menuntut semua pendidik mampu mensinergikan nilai-nilai ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap ragam keilmuan yang ada. Sebab dari perspektif filosofis, tidak ada suatu keilmuan yang berdiri sendiri tanpa memiliki hubungan yang sinergis dengan ilmu lain.
Seiring dengan kemajuan zaman dan daya kompetisi global yang semakin ketat, justru anehnya wajah pendidikan kita semakin buram. Kenyataan pahit yang dirasakan oleh sebagian praktisi pendidikan (pendidik) yaitu “kegagalan” mereka menembus area sertifikasi. Secara persentatif, jumlah guru yang benar-benar lulus resmi uji portofolio tidak lebih dari separo. Realita tersebut berarti dapat menggambarkan betapa parahnya kebobrokan proses pembelajaran yang terjadi sepanjang dekade ini.
Tolak ukur keberhasilan dalam proses pembelajaran selama ini sering dikaitkan dengan paham “kepatuhan” anak didik terhadap guru dan “penguasaan” materi pelajaran. Bahkan kalau kita bisa ikuti apa kata guru berarti itulah anak berbakat, dan siapa yang hafal materi diluar kepala itulah anak yang pintar. Model pembelajaran semacam ini adalah cara behavioristrik, yang melihat bahwa proses pembelajaran itu diukur seperti tingkah laku, jadi harus dilakukan berulang-ulang sampai anak didik seperti mesin “foto copy” yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan bentuk aslinya.
Kini, proses pembelajaran cenderung memakai paradigma kontruktivis, bahwa seseorang bisa membangun pengetahuannya sendiri dan bukan dibentuk oleh orang lain. Meskipun pengaruh bimbingan dan arahan dari pihak pendidik tetap sangat diperlukan, tetapi bukan harus kepatuhan yang jadi nilai ukurnya.
Pembelajaran menurut paradigma konstruktivis, bahwa anak didik itu dikatakan berbakat adalah anak didik yang kreatif dan produktif. Hasil pembelajaran (out came) yang dikehendaki paham konstruktivis yaitu menjadikan anak didik sebagai penemu, desainer yang kreatif dalam bidang science, art dan teknologi, menjadi pemimpin yang inovatif, punya jiwa entrepreneur yang kuat, dan menjadi pribadi yang shaleh terhadap sesama manusia, alam dan Tuhan.
Cara pandang konstruktivis inilah yang kemudian membuka wacana baru tentang cara belajar yang demokratis di mana antara anak didik dan guru bisa saling terjadi proses belajar dan mengajar. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak didik bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadahi, diberi peneguhan dan motivasi. Jadi tugas guru adalah memacu kreativitas anak didik agar “Multiple Intelligence” yang mereka miliki bisa tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi tersebut maka dalam makalah ini akan dibahas seputar pembalajaran berbasis “multiple intelligence” terutama bila metode ini kita terapkan dalam pembalajaran PAI (pendidikan agama Islam).
II. RUMUSAN MASALAH
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka, pemakalah memberikan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran “multiple intelligence” ?
2. Bagaimana penerapan pembelajaran “multiple intelligence” dalam pembelajaran pendidikan agama Islam ?
















BAB II
PEMBAHASAN

I. Pembelajaran “Multiple Intellegence”
Sekolah selain berperan sebagai lembaga yang merangsang siswa untuk mengembangkan dirinya juga sebagai lembaga yang memberikan transfer ilmu pengetahuan. Guru berperan membantu siswa agar berkembang dengan memperhatikan, melindungi menerimanya ,menjaga agar tetap dalam semangat mencapai cita-citanya.
Fenomena yang sering kita rasakan dan dengarkan dari para guru ketika dihadapkan pada siswa di kelas akan memberikan identifikasi kepada siswanya sebagai siswa yang paling pandai disatu sisi dan siswa yang paling bodoh di sisi lain. Tragisnya siswa yang dikategorikan bodoh akan mendapat caci maki bahkan sanksi yang cukup berat, yang secara psikologis akan menghilangkan rasa percaya diri. Suasana kelas yang membosankan menjenuhkan dan monoton bahkan redup, karena keterbatasan guru baik dalam menciptakan inovasi pembelajaran dan multi media juga karena memahami kemampuan siswa yang hanya bertumpu pada satu atau dua jenis kecerdasan dalam mengajar seperti cerdas berbahasa (word smart) dan cerdas berlogika (number smart)( Hernowo , xi :2004). Hal ini selalu nampak dalam proses belajar mengajar sehingga ujung-ujungnya menurunnya motivasi berprestasi siswa sampai pada out put yang anjlok. Jika hal ini terjadi ini salah siapa.
Fenomena-fenomena tersebut di atas akan terus muncul ketika guru tidak memahami potensi dasar yang dimiliki oleh siswa. Paradigma baru melalui Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) oleh pakar Thomas Armstrong akan menjawab semuanya. Dalam teori ini jika guru-guru menguasai KM tidak mungkin akan kehabisan ide dan akan terus bersemangat untuk menciptakan hal-hal baru di kelasnya. Jika ingin menciptakan para juara diberbagai kompetisi, kenapa kita tidak memulainya mengikuti jejak sekolah-sekolah lain yang sudah lebih dulu menjadi gudang-gudang juara dengan menerapkan teori kecerdasan majemuk. Tulisan ini menawarkan salah satu strategi mengajar untuk menciptakan iklim mengajar yang atraktif, kreatif, inovatif dan kondusif.

Kecerdasan Majemuk
Sebelum mengenal lebih dekat tentang Kecerdasan Majemuk, maka alangkah baiknya kita kutip dongeng dalam buku In Their Oum Way : Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences, karya Thomas Armstrong sebagai berikut : Terdengarlah kabar di dunia binatang, bahwa para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Dibuatlah kurikulum yang berisi mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang dan menggali. Sekolah pun dibuka dan menerima murid dari pelbagai pelosok hutan. Pada awalnya sekolah berjalan lancar, guru dan murid dapat menikmati segala aktifitas dan keceriaan.
Singkat cerita tibalah saatnya ulangan harian, murid bernama kelinci yang piawai berlari ketika ikut kelas berenang, kelinci hampir tenggelam sampai mengguncang hatinya. Maka kelinci sibuk latihan berenang hingga kelinci tidak pernah lagi bisa berlari secepat sebelumnya. Kemudian murid bernama elang yang piawai terbang giliran mengikuti kelas menggali, si elang tidak bisa melakukannya, akhirnya ia ikut privat, sehingga ia melupakan cara terbang yang sebelumnya ia kuasainya. Berbagai kasus melanda para siswa, Para binatang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi di bidangnya masing-masing lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka. Pengelola sekolah menjadi pusing .
Dari cerita dongeng tersebut di atas, bila dikaitkan dengan sistem kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah sepertinya kurang memberikan ruang gerak bagi siswa untuk mengembangkan potensi dasar yang mereka miliki. Disatu sisi tempat untuk mengembangkan potensi dasar siswa terbatas pada apa yang sudah ada dan disiapkan sekolah. Disisi lain pihak pemerintah dan pengelola pendidikan kurang menyiapkan berbagai tagihan yang diperlukan siswa melalui kecerdasan majemuk.
Kecerdasan majemuk menurut Gardner (dalam Thomas Armstrong, 2 : 2004) membagi kecerdasan majemuk menjadi delapan macam yaitu :
1) Kecerdasan linguistik : kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif baik lisan (pendongeng, orator, politisi) maupun tertulis ( sastrawan, editor, wartawan),
2) Kecerdasan matematis logis : kemampuan menggunakan angka dengan baik (ahli matematika, akuntan pajak ahli statistik),
3) Kecerdasan Spasial : kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat ( sebagai pemburu, pramuka, pemandu),
4) Kecerdasan Kinestetis-Jasmani : kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan ( sebagai aktor, atlet atau penari),
5) Kecerdasan musikal : kemampuan menangani bentuk-bentuk musik, dengan cara mempersepsi ( sebagai penikmat musik, kritikus),
6) Kecerdasan Interpersonal : kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi serta perasaan orang lain (kepekaan pada ekspresi wajah, suara gerak isyarat),
7) Kecerdasan Intrapersonal : kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut (kemampuan memahami diri sendiri secara akurat),
8) Kecerdasan Naturalis : keahlian mengenali dan mengategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar, (kepekaan pada fenomena alam).
Dari delapan macam kecerdasan majemuk tersebut di atas maka poin-poin kunci dalam kecerdasan majemuk adalah :
1) Setiap orang memiliki ke delapan kecerdasan artinya teori ini adalah teori fungsi kognitif yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas dalam kedelapan kecerdasan tersebut.
2) Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai. Menurut (Gardner, 17 : 2004) setiap orang memiliki kemampuan mengembangkan kedelapan kecerdasan sampai pada kinerja tingkat tinggi yang memadai apabila cukup dukungan, pengayaan dan pengajaran.
3) Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks. Menurut Gardner bahwa kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain. Contoh : untuk memasak makanan orang akan membaca resep (linguistik), mungkin akan membagi menjai setengah resep (matematika logis), dan bisa memuaskan semua pihak (intrapersonal) bahkan dirinya sendiri (interpersonal).
4) Ada banyak cara untuk cerdas dalam setiap kategori sebagai contoh misalnya mungkin saja orang tidak dapat membaca dengan baik, tetapi memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi karena dapat menyampaikan isi pidato sampai memukau orang lain.

II. Penerapan Pembelajaran “Multiple Intellegence” dalam PAI
Untuk dapat menerapkan model pembelajaran di sekolah sebaiknya menerapkannya pada diri kita sendiri sebagai pendidik agar memiliki pemahaman empiris tentang teori tersebut., baru kepada anak didik. Untuk menilai kecerdasan majemuk pada diri kita sendiri adalah melalui penilaian kinerja secara realistis pada berbagai macam tugas, kegiatan dan pengalaman yang berkaitan dengan setiap kecerdasan. Untuk dapat menghubungkan kita dengan pengalaman hidup yang memanfaatkan kedelapan kecerdasan, sehingga kenangan, perasaan dan gagasan apakah yang muncul dari proses ini bisa dibantu dengan lembar kuesioner KM.
Teori kecerdasan majemuk adalah model yang sangat tepat untuk melihat kekuatan mengajar maupun untuk mempelajari wilayah-wilayah yang perlu diperbaiki. Mungkin kita akan menghindar jika dalam mengajar harus menggambar di papan tulis atau enggan menggunakan bahan-bahan grafis saat presentasi karena kecerdasan spasial kita belum cukup dikembangkan dalam hidup. Atau mungkin kita cenderung pada strategi belajar kelompok atau kegiatan ekologis karena kita termasuk pendidik yang interpersonal atau naturalis.
Cara-cara penggunaan sumber-sumber kecerdasan antara lain :
1) Meminta bantuan teman yang ahli, maksudnya jika kita kehabisan akal untuk mengajar di kelas menggunakan alat musik, karena kecerdasan musikal kita rendah bisa minta bantuan pada guru musik atau kolega berbakat musik, 2) Meminta bantuan siswa, maksudnya siswa sering memberikan solusi dan menunjukkan kemahiran di wilayah tertentu yang kurang dikuasai pendidik, seperti mengakses data di internet,
3) Menggunakan teknologi yang ada maksudnya adalah gunakan daya teknis sekolah untuk menyediakan informasi yang tidak dapat kita kuasai, contohnya jika kita bukan pengajar yang berorientasi pada gambar bisa memutar video.
Sejumlah pengaruh lingkungan juga berpengaruh mendorong atau menghambat perkembangan kecerdasan antara lain :
1) Akses ke sumber daya : maksudnya apabila keluarga tidak mampu membelikan siswa piano, piano atau alat musik lain maka kecerdasan musik tidak akan berkembang,
2) Faktor historis kultural maksudnya apabila siswa memiliki kecenderungan pada matematika banyak mendapat subsidi maka kemungkinan kecerdasan matematika logis akan berkembang,
3) Faktor geografis maksudnya apabila siswa dibesarkan di lingkungan pertanian akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan naturalis atau kinestetis jasmani dibandingkan siswa yang tinggal di apartemen atau kota-kota besar,
4) Faktor keluarga maksudnya bila siswa kecenderungan ingin menjadi seniman, terus dipaksakan oleh orang tua menjadi ahli hukum maka akan mendorong perkembangan kecerdasan linguistik tetapi menghambat kemajuan kecerdasan spasia.
Kemudian bila kita coba tarik pada alam “kita” yaitu dunia pendidikan Islam bagaimana bentuk penerapan multiple intelligence dalam pendidikan agama Islam.
Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan kata-kata dapat mempelajari PAI dengan pantun, puisi dan lain-lain. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam bidang musik (Musical Intelligence) juga dapat mempelajari PAI dengan mengarang lagu-lagu untuk mengingat fakta-fakta dalam PAI. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam menggunakan gambar (Visual-Spatial Intelligence) dapat mempelajari PAI dengan membuat komik/cerita bergambar, lukisan dan lain-lain. Anak-anak yang memiliki kecerdasan dalam memahami tubuh (Bodily-Kinesthetic Intelligence) dapat mempelajari PAI melalui drama dan tari-tarian.
Multiple Intelligence pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emotional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Celakanya, pola pemikiran tradisional dalam pendidikan acapkali lebih menekankan pada kemampuan logika-matematika dan bahasa. Padahal, setiap orang memiliki cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. (Handy Susanto,2005).



BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang terwujud dalam meningkatkannya kecerdasan siswa, tidak hanya terfokus pada smart word atau smart number, tetapi ada kecerdasan-kecerdasan lain yang tersimpan dalam diri setiap anak. Bila kecerdasan-kecerdasan ini bisa di eksploitasi dengan baik maka anak didik kita akan bisa memiliki kecerdasan yang majemuk. Inilah yang disebut dengan kecerdasan majemuk atau multiple intelligence. Ada 8 kecerdasan majemuk itu :
1. Kecerdasan dalam menggunakan kata-kata (Linguistic Intelligence)
2. Kecerdasan dalam bermusik (Musical Intelligence)
3. Kecerdasan dalam menggunakan logika (Logical-Mathematical Intelligence)
4. Kecerdasan dalam menggunakan gambar (Visual-Spatial Intelligence)
5. Kecerdasan dalam memahami tubuh (Bodily-Kinesthetic Intelligence)
6. Kecerdasan dalam memahami sesama (Interpersonal Intelligence)
7. Kecerdasan dalam memahami diri sendiri (Intrapersonal Intelligence)
8. Kecerdasan dalam memahami alam (Naturalist Intelligence)
2. Kecerdasan majemuk ini memiliki kontribusi yang luar biasa bila kita terapkan dalam pembelajaran PAI. Diantaranya kita bisa meminta anak-anak menceritakan kisah nabi Yusuf tetapi disampaikan dengan bentuk drama, dan lain sebagainya. Intinya kita bisa banyak berkreasi dalam menyampaikan pelajaran PAI. Penerapan teori Multiple Intelligences dalam proses pembelajaran PAI membuat siswa tidak hanya duduk “manis” mendengarkan ceramah dari guru. Siswa diberi keleluasaan untuk mencari tempat dimana mereka akan belajar. Jadi proses belajar mengajar tidak selalu dilakukan di dalam kelas tetapi bisa di lapangan, ruang laboratorium atau perpustakaan. Adakalanya ketika siswa berada dilapangan untuk mempraktekkan sesuatu,hal tersebut ikut memancing keingintahuan siswa yang sedang belajar di kelas lain sehingga guru-guru yang lain (mungkin) merasa terganggu.



BIBLIOGRAFI

Amstrong, T. (2004). Kamu itu lebih cerdas daripada yang kamu duga (You’re smarter than you think), Batam Centre: Interaksara
Dahar, Ratna Wilis, Prof. Dr. M.Sc,. (1996).Teori-teori belajar, Jakarta: Erlangga
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer. (2000). Quantum teaching.
Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan Majemuk). Batam:
Interaksara.
Gunawan, Adi W., (2004), Genius Learning Strategy, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prawiradilaga , Salma, D., Siregar, Eveline, (2004), Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana,
Susanto, Handy, S.Psi, (2005), Penerapan multiple intelligences dalam system pembelajaran, Jakarta, Jurnal Pendidikan Penabur.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat datang di webblog Forum Tamaddun. Melalui webblog ini kita akan berbagi tentang banyak hal terkait peradaban Islam, kebudayaan dan p...