HADITS DLOIF, macam dan kehujjahannya

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagai sebuah agama yang Rahmatan li al-‘alamiin, Islam mengajak kepada seluruh umat manusia, baik yang beriman ataupun yang belum beriman kepada kebaikan. Karena dengan berbuat kebaikan maka kebahagiaan di dunia dan akhirat akan diperoleh. Untuk mendukung itu semua, Allah telah mengirimkan untuk setiap kaum seorang utusan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu’minuun ayat 44:

 “Kemudian kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul kami berturut-turut. tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, Maka kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain dan kami jadikan mereka buah tutur (manusia), Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman”.

Dimana tugas utama para rasul tersebut adalah mengajak umatnya untuk berbuat kepada Allah, dalam artian selalu bertaqwa kepada-Nya. Dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dan tiap-tiap rasul tersebut juga dibekali dengan kitab maupun shuhuf sebagai pedoman mereka dalam berda’wah, juga sebagai rujukan dalam memecahkan setiap masalah yang muncul ditengah umatnya.

Demikian pula dengan kita yang merupakan umat dari Nabi Muhammad SAW, yang merupakan nabi penutup zaman. Dalam mengarungi hidup ini, Rasul telah mewariskan al-Qur’an dan al-hadits atau as-sunnah. Sehingga diharapkan dengan 2 warisan dari Rasul ini hidup manusia bisa lebih terarah dan terkontrol. Karena dengan al-Qur’an yang merupakan kalamullah manusia bisa mengetahui rambu-rambu yang telah dibuat oleh Allah, dilengkapi pula dengan al-hadits yang berfungsi sebagai bayyanu taudhih,tafsir (sebagai penjelas) dan sebagai bayyanu tsabit (menambah) yang tidak ada dalam al-qur’an.

Kenapa hadits dijadikan sumber hukum kedua setelah Islam? Karena bila dilihat dari pengertiannya saja, hadits secara literal berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan yang dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun seringkali kata ini mengalami perluasaan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Sehingga Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah al-Qur’an.[1]

Tetapi setelah diadakan kajian  yang begitu mendalam mengenai hadits-hadits yang jumlahnya ribuan, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa tidak semua hadits-hadits tersebut bisa dijadikan pedoman atau dijadikan sebagai hujjah. Ada tingkatan-tingkatan dalam pembagian hadits tersebut. Tingkatan-tingkatan tersebut sangat berpengaruh dalam peluang penggunaan hadits tersebut sebagai hujjah.

Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yaitu sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah.[2]

Sehingga sebuah hadits bisa dijadikan sebagai pedoman bila keutuhan rantai sanadnya terjaga. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya. Sebagai sebuah illustrasi sanad : pencatat hadits > penutur 4 > penutur 3 > penutur 2 (tabi’in) >  penutur 1 (sahabat) > Rasulullah SAW.[3]

Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin lama zaman itu semakin jauh dengan zaman Rasulullah, maka banyak sekali hadits yang keshahihannya masih diragukan. Dengan kata lain sekarang banyak sekali bermunculan hadits-hadits yang diklaim oleh si penyampai hadits sebagai hadits yang shahih, sehingga masyarakar awam mengikutinya begitu saja. Akan tetapi setelah diselidiki lebih jauh ternyata hadits itu mardud. Dikarenakan ada persoalan dari sisi sanadnya.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4, yakni shahih, hasan, da’if dan maudhu’.[4]

Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis merasa perlu melakukan kajian terhadap hadits dloif. Dalam hal ini ada tiga poin pertanyaan yang akan penulis gunakan sebagai pisau analisis dalam membahas hadits dloif, yaitu :

1.    Apa pengertian hadits dloif ?

2.    Bagaimana pembagian hadits dloif ?

3.    Bagimana status kehujjahan hadits dloif ?

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengertian Hadits Dha’if

Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah[5] sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.

Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :

ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن

Artinya:

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Sedangkan Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :

ما لم يجمع صفات الحسن

Artinya:

“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”

Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :[6]

الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث

Artinya:

“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.

Sedangkan pendapat yang lain hadits dloif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak tersambung dan diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya hadits dloif, yaitu:

1.    Adanya Kekurangan pada Perawinya

Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:

·       Dusta (hadits maudlu)

·       Tertuduh dusta (hadits matruk)

·       Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal

·       Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal

·       Menyalahi riwayat orang kepercayaan

·       Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)

·       Penganut Bid’ah (hadits mardud)

·       Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2.    Karena Sanadnya Tidak Bersambung

·       Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq

·       Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal

·       Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal

·       Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

3.    Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’

B. Pembagian Hadits Dha’if

Hadits dhaif sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak sesederhana pembagian hadits shahih maupun hasan. Oleh karena itu ada ulama ahli hadits yang membagi hadits dhoif menjadi 42 macam, 63, 81 bahkan ada yang sampai 129 macam.[7]

Sebab kedhaifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad, yaitu terputusnya sanad. Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat Sahabat, Tabi’in, maupun tingkat sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya satu tingkat ataupun lebih. 

1.      Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa perawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad, baik pada permulaan, pertengahan atau akhir sanadnya.

a. Hadits Mursal

Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi SAW. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..”

Para ulama’ memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.[8]   

Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman dari Harmalah dan dari Said bin Mutsayyab. Bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:

قال رسول الله صلى الله وسلم : بيننا وبين المنافقين شهود لعشاء والصبح لا يستطيعون (رواه ماللك)

Artinya :

“Rasulullah bersabda: antara kita dengan kaum munafik (ada batas) yaitu menghadiri jamaah Isya’ dan subuh, mereka tidak masuk menghadirinya”. (HR. Imam Malik).

Hadits ini mursal karena, siapa yang sahabat nabi yang yang meriwayatkan hadits ini kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad di atas.[9]

  b. Hadits Munqati’

Menurut bahasa, hadits munqati’ berarti hadits yang terputus. Para ulama’ memberikan batasan hadits munqati’ ialah hadist yang gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanadnya adalah tabi’in. artinya hadits munqati’ itu bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur tapi minimal gugur seorang tabi’in.

Contoh hadits munqati’:[10]

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم : إ ذا دخل المسحد قال : بسم الله والسلام على رسول الله اللهم غفرلى ذنوبى وافتح لى ابواب رحمتك. (رواه ابن ماجه)

 

 

Artinya :

Rasulullah SAW, bila masuk ke dalam masjid membaca: dengan nama Allah dan sejahteralah atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukanlah bagiku segala pintu rahmat-MU”

(HR. Ibnu Majah)

c. Hadits Mudal

Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya, contohnya: telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:[11]

 للملوك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك)

Artinya:

“Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik”.

 (HR. Malik)

d. Hadits Muallaq

Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad.

Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:[12]

لاتقاضلوابين الأنبياء (رواه البخارى)

Artinya:

“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)

 

 

2.      Hadits Dha’if karena Cacat pada Rawi atau Matan

Hadits yang cacat pada rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dhoif. Ada berbagai macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau matannya, diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak dikenal dan berbuat bid’ah merupakan cacat-cacat yang dapat menghilangkan sifat dabit para rawi.

Adapun cacat matan, misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau lafal hadits itu diputarbalikan sehingga memberikan pengertian yang berbeda dengan maksud hadits yang sebenarnya.

a. Hadits Maudu’

Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja, contoh:

لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء

Artinya:

“Anak zina  tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.

Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah, surat al-An’am ayat : 164 :

 “Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."

Banyak cara untuk bisa mengetahui hadits palsu atau tidak adalah dengan melihat makna hadits tersebut rusak ataukah batil yaitu dengan memastikan bahwa makna hadits tersebut masuk akal ataukah tidak, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan kebenaran yang sudah dapat dipastikan secara ilmiah/historis, bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat atau bertentangan dengan ayat al-Qur’an.

b. Hadits Matruk atau Hadits Matruh

Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, yang menurut penilaan seluruh ahli hadits terdapat catatang pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan. Atau dengan kata lain hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu dalam periwayatan.

c. Hadis Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:

من اقام الصلاة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة

(رواه بن ابى حاتم)

Artinya:

“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.

d. Hadits Muallal

adalah hadist yang kelihatannya terbebas dari cacat, akan tetapi sebenarnya memiliki cacat yang tersembunyi baik pada sanad maupun matannya atau juga pada keduanya.  Untuk menemukan illat (cacat) hadist ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab ‘ilat itu sendiri tidak tampak, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadist.[13] Contoh:

قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرقا

Artinya:

“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”

e. Hadits Mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh:

قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: انا زعيم، والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل الله يبيت في ريض الجنة  (رواه النسائ)

Artinya:

“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasai)

f. Hadits Maqlub

Hadist yang terjadi pembalikan baik pada sanad, nama periwayat maupun matannya. Maksudnya perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan serta meletakkan sesuatu di tempat yang lain. Contoh maqlub pada matan adalah hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani:[14]

 قال رسول الله ص.م. اذا امرتكم بشئ فأتوهواذا نهيتكم عن شئ فاجتنيبوه ما استطعتم. (رواه الطبرانى)

“Rasululah bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah dia, apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia sesuai dengan kesangupanmu”. (HR. Thabrani)

Sedangkan dalam hadits Buhkari dan Muslim, matan hadist di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda, yaitu :

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ص.م. يقول: ما بهيتكم عنه فاجتنبوه وما امرتكم به فافعلوه ما استطعتم. (رواه البجارى ومسلم)

“dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : apa-apa yang kami cegah dari kamu semua maka jauhilah dan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu sekalian perbuatlah menurut kemampuanmu”. (HR. Bukhori-Muslim)   

g. Hadits Syaz

Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:

ايام التشريق ايام اكل وشرب (رواه موسى بن على)

Artinya:

“hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”

C. Status Kehujahan

Cacat yang terdapat pada hadits dhoif berbeda-beda. Hal ini berimbas pada tingkatan (martabat) hadits-hadits dhoif juga mengalami perbedaan. Dari hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya, yang paling rendah martabatnya adalah hadits maudhu’, kemudian hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj dan hadits maqlub. Sedangkan untuk hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya yang paling lemah adalah hadits muallaq, hadits mudal, hadits munqoti’ dan hadits mursal.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam hal kebolehannya (kehujjahan) hadits dhoif untuk diamalkan terdapat beberapa pendapat:

Pendapat pertama[15], hadits dhoif tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal dan haram, maupun yang berkaitan dengan kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam, seperti imam Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan sebagainya.

Pendapat ini tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dhoif, karena hadits yang dhoif itu ditinggalkan para ulama’. Disamping itu pula hadits dhoif itu tidak boleh bertentangan dengan hadits yang lain.

Pendapat kedua[16] dipandang baik mengamalkan hadits dhoif dalam fadaitul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun dilarang.

Segolongan ulama’ yang dipimpin oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi menyatakan : sudah menjadi kesepakatan ulama akan diperbolehkannya menggnakan hadits dhoif sebagai dalil untuk fadaitul amal. Ibnu Daqiq al’Id memberikan syarat dibolehkannya penggunaan hadits dhoif dalam fadaitul amal :

1.      Hadits dhoif itu harus benar-benar ada berdasarkan sumber yang asli. Artinya bukan rekayasa seseorang.

2.      Tidak menganggapnya sebagai hadits shahih ketika mengamalkannya, tetapi menganggapnya sebagai langkah antisipatif saja.

3.      Telah disepakati  untuk diamalkan, yaitu hadits dhoif yang tidak terlalu dhoif.[17]

4.      Hadits dhoif yang bersangkutan berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak bisa diamalkan hadits dhoif yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.[18]

 Pendapat yang ketiga, hadits dhoif sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadaitul amal maupun yang berkaitan dengan halal-haram.

Dalam hal ini penulis lebih condong pada pendapa yang ketiga, dengan sebuah argumen bahwa masih banyak hadits shahih yang lebih kuat dasar hukumnya yang masih bisa kita jadikan sandaran hukum.

D. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if

1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579 H)

2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti (911 H)

3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H)

4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( 751 H )

5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H )

 

BAB III

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan pembahasan masalah yang terurai pada bagian terdahulu, maka dapat disimpulkan:

1.        Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.

2.        Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan.

a.    Adanya Kekurangan pada Perawinya :

·       Dusta (hadits maudlu)

·       Tertuduh dusta (hadits matruk)

·       Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal

·       Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal

·       Menyalahi riwayat orang kepercayaan

·       Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)

·       Penganut Bid’ah (hadits mardud)

·       Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

b.    Karena Sanadnya Tidak Bersambung

·       Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq

·       Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal

·       Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal

·       Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

 

3.        Kehujjahan penggunaan hadits dhoif ada tiga :

a.    Boleh secara mutlak, baik itu berkaitan dengan halal dan haram dan kewajiban asalkan hadits tersebut tidak terlalu dhoif.

b.    Boleh hanya dalam hal yang berkaitan dengan fadaitul amal, itupun disertai dengan beberapa syarat.

c.    Tidak boleh diamalkan dengan karena hadits yang dhoif lebih mendekati dengan palsu padahal masih banyak hadits shohih yang masih bisa digunakan.

 

BIBLIOGRAFI

 

 

Alwi, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

As-Shalih, Subhi. 1997. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ash-shiddieqy, Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.

Asyraf. 2004. Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif. Jakarta: Pustaka Azzam.

Ismail, Shuhudi. 1993. Hadits Nabi Menurut Pembela dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.

Muhammad, Ahmad, dkk. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.

http://makalah85.blogspot.com/2008/12/hadits-dhaif.html

http://mqclub-bandung.blogspirit.com/archive/2006/10/30/pengertian-hadist.html)

 

 

 



[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. hal. 147.

[6] Ibid.. hal. 147.

[8] Muhammad, ulumul hadits. hal. 149

[9] Ibid., hal. 149

[10] Ibid., hal. 149-150

[11] Ibid.,hal. 150

[12] Ibid.,hal. 151

[13] Dr. Subhi Sholih, ulumu al-hadits wa musthalaluhu, hal. 180.

[14] Muhammad, ulumul hadits. ibid.,hal. 159-160.

[15] Ibid.,hal. 161

[16] DR. Asyraf bin Sa’id. 2004. Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif. Jakarta: Pustaka Azzam. Hal 29-30.

[17] Abdullah, ibid.,hal. 161-162.

[18] ibid.,hal. 161-162.